Memenuhi Janji, Kembali ke Baduy
September 8, 2013
bagian 2
Aku juga menemukan sebuah bangunan lumbung yang berubah
fungsi. Umumnya lumbung digunakan untuk menyimpan hasil bumi, untuk keperluan
jangka panjang. Lumbung yang ini mungkin sudah rusak, lalu
dindingnya dilepas, dan digunakan untuk menyimpan kayu bakar.
Dikesempatan lain, aku melihat sebuah lereng yang nyaris gundul, sehingga terlihat sebuah pondok kecil sendirian berada di tengah-tengahnya, dikemiringan sekitar 45 derajad. Sepintas kita melihatnya membahayakan. Tetapi sudah beratus tahun masyarakat Baduy berpengalaman mengelola hutan mereka, secara alamiah, tanpa sentuhan teknologi, tanpa polusi bahan kimia, untuk alam yang murni. Ladang ini mau diremajakan. Beberapa bulan kedepan, jika kita mengunjungi tempat ini lagi, mungkin pondok kecil ini tidak terlihat lagi, tertutup oleh rimbunnya pohon.
Pada kesempatan lain lagi, aku juga melihat deretan kayu dengan lubang berderet diatasnya, diletakkan berdiri menyandar ke teras rumah. Tadinya aku pikir ini alat permainan congklak, permainan tradisional seperti halnya di jawa. Tapi rupanya berbeda, ketika aku memotretnya, Kang Herman menjelaskan bahwa itu adalah alat untuk mencetak gula merah. Oh aku paham, pantas ada satu ruas bambu yang dilubangi diujung-ujungnya dan diikatkan tali di keduanya. Mungkin bambu ini digunakan untuk mengambil aren sebagai bahan baku gula merah.
Kami tiba di jembatan bambu kedua, dibatas Dusun Cipaler. Diseberang sana adalah wilayah Baduy Dalam. Kami harus mematikan camera, lalu menyimpannya. Begitu juga semua peralatan komunikasi. Ketentuan ini harus dijalankan, bukan semata-mata demi menghormati adat setempat, tapi ini bagian dari commitment setiap orang yang memasuki wilayah Badui Dalam. Peringatan itu sudah terpampang di pintu masuk kawasan Baduy, di Ciboleger. Jadi, ini sudah menyangkut integritas seseorang. ini tentang kepatuhan akan aturan yang ada, kalo bukan kita yang menegakkannya, lalu siapa lagi ? Kemurnian alam Baduy dan Masyarakatnya sudah terjaga ratusan tahun, karena integritas pribadi-pribadi yang terinteraksi dengannya, baik masyarakat Baduy sendiri, maupun masyarakat diluar Baduy…
Sekali lagi kami melintasi sungai yang indah. Airnya dangkal dan mengalir beriak, dinaungi pohon-pohon yang teduh, adem. Suasana saat itu begitu damai, tenang, setenang wajah-wajah Baduy yang jujur. Kedamaian yang mempesona, yang bisa kita nikmati dan rasakan hanya beberapa jam saja dari Jakarta yang hingar bingar, riuh dengan berita tentang korupsi, kekerasan dan aneka kenistaan lainnya. Maka nikmat apa lagi yang mesti kita dustakan ?
Tak terasa, kami telah tiba di Cibeo. Hari masih terang, kami bersantai dulu, istirahat duduk-duduk diteras rumah Kang Herman. Rumah ini sepi karena Bu Herman masih di ladang dan belum kembali. Aku segera menuju ke sungai untuk membersihkan diri, mumpung masih sepi, sekaligus ambil wudhu untuk persiapan sholat maghrib dan isya nanti.
Kang Herman sibuk membersihkan rumah. Menyiapkan segala sesuatu, termasuk tungku untuk memasak. Tak lupa air putih yang segar… air Cibeo yang murni. Kami meneguknya dari gelas yang terbuat dari bambu, ini menjadi semacam ritual bagi kami. Malam itu kami berbincang panjang lebar tentang kehidupan, juga tentang Baduy, ditemani Bu Herman, Naldi dan Abah yang bergabung. Abah dengan sabar menceritakan apa-apa yang kami tanyakan, termasuk tentang rumah Baduy yang dibuat tanpa memangkas tanah, tanpa menggunakan sebatang paku pun. Ada satu lagi yang aku baru tahu, bahwa tiap rumah Baduy dalam, memiliki satu buah kayu panjang tanpa sambungan, sebagai “belandar” (istilah jawa) atau penopang utama dari atap rumah. Terletak diatas atau “wuwungan” (istilah jawa) dipasang sejajar lantai dari batas paling belakang sampai batas depan, kira kira diatas pintu rumah. Kayu ini ditebang sendiri, dan dibentuk hanya dengan menggunakan kampak, tanpa alat gergaji atau sejenisnya. Ini harus, ini aturan adat.
Kami semua menikmati makan malam secara bersama-sama, masakan Bu Herman. Nasi putih hasil tanaman Baduy, ditambah sayur dan ikan asin, nikmat sekali, sambil kami terus melanjutkan berdiskusi, dan bertukar pikiran. Selesai makan, kopi Baduy dihidangkan didalam gelas bambu, ditemani singkong yang tadi siang Kang herman ambil dari ladang, manis, empuk dan lembut, menandakan tanah Baduy yang subur meski tanpa pupuk sintetis.
Malam itu kami tak bisa menikmati indahnya langit dan gemerlapnya bintang seperti dahulu, karena malam ini langit diliputi awan mendung. Sayang sekali, padahal aku telah mempromosikan spektakulernya langit Baduy ini kepada teman-teman sejak hari sebelumnya. Kami gunakan waktu malam ini untuk berbincang di dalam rumah, karena diluar sedang gerimis. Aku terbangun pagi itu, aku sungguh tak ingat jam berapa tertidur ?, usai sholat subuh, tanpa mandi karena dingin, kami awali ritual pagi ini dengan segelas kopi Baduy dan sarapan nasi Baduy yang lezat. Lalu kami segera bersiap melanjutkan perjalanan meninggalkan Dusun Cibeo melintasi bukit Cimangseri menuju jembatan akar.
Kami berpamitan ke Bu Herman dan Abah, berterimakasih dan berjanji akan kembali lagi suatu hari nanti. Kami berjalan dengan formasi yang sama seperti kemarin, bertujuh. Meninggalkan pemukiman Baduy Dalam yang damai, menyusuri jalan-jalan batu diantara rumah-rumah Baduy, menyeberangi sungai kecil, dan tak ada lagi rumah, hanya hutan dan ladang yang kami lintasi. Kami menyeberangi sebuah sungai kecil dibalik bukit Cimangseri, artinya kami telah meninggalkan wilayah adat Badui Dalam, dan kami bisa menggunakan camera lagi. Kami tiba di sebuah pondok di ladang, setelah menempuh hampir 1 jam perjalanan. Istirahat sejenak sambil jeprat jepret apa saja yang menarik utk diabadikan, termasuk wajah Asda yang pendiam.
Asda, Baduy Dalam |
Batas Baduy Dalam |
Ahirnya kami tiba di jembatan akar, dibawahnya air cukup deras, mungkin karena banjir. Aku melihat beberapa batang pohon mengapung diatas sungai, ada yang ditunggangi oleh anak-anak Baduy. Didepan sana ada jeram, meskipun tidak terlalu besar, tetap saja membuat aku khawatir. Anak-anak ini luar biasa, mereka bisa melewati jeram dengan mulus, sayang sekali tidak sempat mengabadikannya.
Jembatan Akar |
Kami biarkan Puji dan Aan berlama-lama menikmati jembatan akar ini, bagi mereka ini mungkin fenomenal, sama seperti perasaanku ketika pertama kali melihat jembatan ini. Jalinan akar-akar pohon yang masih hidup dirangkai dengan akar-akar pohon yang berada diseberang sungai. Hingga saling mengait dan menyatu, menjadi sebuah jembatan yang menghubungkan ke dua sisi sungai. Aku bertanya kepada Naldi, kapan jembatan ini dibuat ?. Naldi menjawab “saya juga pernah bertanya kepada kakek saya, dia juga gak tahu”. Berarti jembatan ini dibuat mungkin sudah lama sekali.
Kesaksian Naldi membuktikan betapa panjang sejarah Baduy dengan kehidupannya yang bersahaja, mengelola alam yang murni, asli, tanpa polusi. Kami melanjutkan perjalanan menuju dusun Gerendeng, untuk selanjutnya meninggalkan kawasan Baduy menuju Jakarta. Tempat kami tinggal dan mencari nafkah, tempat keriuhan segala macam jenis manusia dengan segala kepentingannya, dari yang jujur sampai yang serakah, miskin dan kaya. Tempat segala macam limbah dan polusi berada, segala macam produk buatan manusia yang berakhir di tempat sampah. Tempat mengalirnya sungai-sungai yang hitam dan bau, tak seperti sungai Baduy yang murni. Sekali lagi aku berjanji akan mengunjungi Baduy lagi, untuk belajar lagi….
Lanjut ke Wonderful Baduy (Part 4)
Cerita ini juga dimuat di http://www.khatulistiwa.info/2013/09/kembali-ke-baduy.html
No comments:
Post a Comment