Wonderful
Baduy
June 5, 2013
Panorama rumah Baduy Luar |
Orang asing dilarang masuk ke Baduy dalam…! Suara ini samar
aku dengar dari dialog salah satu anggota rombongan dengan pengantar kami. Orang Baduy asli, penasaran aku mendekat. “Kan kita mau ke dalam ?”, tanyaku dengan tekanan suara yang jelas,
maksudnya supaya orang baduy asli itu denger, dan benar dia menjawab. “Orang
asing itu maksudnya “bule”, “dan chinese”. Pertama reaksiku biasa saja terhadap
jawaban pertama, tapi Chinese, kenapa dianggap asing juga ?, sudahlah aku tidak
berani bertanya lebih jauh. Kami terus melanjutkan perjalanan menelusuri jalan batu
meninggalkan Ciboleger, terminal terakhir tempat kendaraan kami berhenti.
Tugu Selamat Datang di terminal Ciboleger |
Dengan jumlah rombongan hampir 40 orang, memang perjalanan
ini terasa riuh dan rame oleh ocehan-ocehan peserta. Ada beberapa rekan Baduy
dalam bersama kami, sebagai penunjuk jalan dan sekaligus porter. Aku sendiri
ada di rombongan paling belakang bersama orang Baduy dalam asli yang akhirnya
aku kenal sebagai Herman. Ia sengaja paling belakang, bertanggung jawab sebagai
sweeper, menjaga tamu yang akan memasuki kawasannya. Ia dan Masyarakat Baduy
dalam menganggap kami sebagai tamu, dan kami akan diterima sebagai tamu, bukan
pengunjung biasa, atau turis atau orang yang nyasar. Begitu meninggalkan
Ciboleger, kami mendapati papan peringatan yang sudah agak usang, tapi bunyinya
masih menggetarkan. Denda 5 juta bagi yang mengganggu, merusak, atau
menggunakan tanah hak ulayat Baduy. Wow, luar biasa…
Baduy, sudah lama aku kenal, namun hanya sedikit
pengetahuanku, dan aku belum pernah mengunjunginya. Nah kesempatan kali ini
benar-benar ingin aku manfaatkan untuk melihat dengan mata kepala sendiri fenomena “Baduy” dengan segala legendanya,
adat istiadatnya, wisdom-nya, reputasinya, sehingga pemerintah sampai merasa
perlu melindungi suku Baduy ini.
Batu kali yang disusun tanpa semen perekat. |
Herman bilang jarak yang kami tempuh sekitar 12 km, dg lama
tempuh kalau santai kira kira 4-5 jam. Dalam hati aku bilang enteng, tiap
minggu aku jogging 5 km, jadi 12 km ditempuh dengan jalan kaki no problem lah
batinku. Kami terus berjalan menelusuri jalanan yang terkadang hanya berupa
jalan setapak dari tanah, tetapi kadang-kadang dilapisi susunan batu kali yang
rapi, jika ada jalanan menanjak atau turunan. Batu kali itupun disusun rapi
membentuk undakan sehingga memudahkan siapa saja yang melintasinya. Biasanya
jalan batu ini adanya di tengah pemukiman Baduy, diantara rumah-rumah Baduy
yang masih terbuat dari kayu, berdinding anyaman bambu dan beratap rumbia.
Kami masih berada di Baduy luar. Rumah Baduy luar berbentuk
panggung setinggi sekitar setengah meter dari permukaan tanah, pilar pilarnya
dari kayu, berdinding anyaman bambu, dan berlantai bambu yang disusun seolah
olah sayatan bambu yang memanjang. Rumah rumah sederhana ini berderet deret
atau kadang kadang seperti bertumpuk tumpuk jika dilihat dari jauh, karena
kontur tanah yang tidak rata. Menyaksikan dan merasakan pemukiman Baduy luar
saja kami sudah terkagum-kagum bagaimana kiranya di Baduy dalam sana…,
Baru satu jam lebih
sedikit perjalanan ini, tapi aku sudah basah kuyup, dugaanku salah, tadinya
aku pikir jalannya datar, tapi ternyata naik turun melewati beberapa punggungan
gunung. Handuk kecil yang aku bawa
sampai bisa diperas berkali kali, dan beberapa teman bercanda “jangan diperas
Om, sayang buat survival”… he..he. ada ada saja….
Rumah warga Baduy Luar |
Di saat seperti ini, barulah kita bisa benar benar merasakan nikmatnya seteguk
air putih… tidak ada yang lebih berharga dibanding air… terimakasih Tuhan atas
nikmat ini…
Perkampungan Baduy Luar |
Terus menyusuri
jalan setapak, naik turun gunung,
menyusuri hutan, menyeberangi sungai, dan
sesekali kami melihat dikejauhan sekumpulan rumah pemukiman Baduy yang tersusun
indah menyembul diantara pohon-pohon hutan. Orang-orang Baduy sangat bersahaja,
mereka benar-benar sahabat alam, mengambil segala sesuatu dari alam sekedar
untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. Mereka tidak mencemari lingkungan, mereka sudah menjadi satu
kesatuan ekosistem alam Baduy. Pemandangan indah alam Baduy tak henti hentinya
terpampang didepan kami, ketika kami mencapai punggungan gunung, hutan hijau
nan padat dan rimbun, tanpa dikotori menara-menara listrik atau kabel kabel
sutet, seolah sengaja memamerkan keanggunannya kepada kami. Terkadang lembah-lembah yang indah dihiasi aliran sungai
berbatu yang cukup lebar dengan air yang jernih. Inilah air sumber
kehidupan orang orang Baduy.
Alam Baduy |
Alam Baduy |
Alam Baduy |
Kami terus berjalan dan sesekali istirahat. Rombongan mulai
tercecer. Yang terdepan beristirahat menunggu kawan yang masih jauh dibelakang
berkumpul kembali, untuk kemudian bersama sama lagi melanjutkan perjalanan. Satu hal yang mengagumkan, pengantar kami Orang Baduy dalam, sama sekali tidak
terlihat lelah, bahkan aku tidak melihat keringat sedikitpun, padahal keringatku
sampai bisa diperas…. Kami ngos-ngosan, mereka tidak, orang Baduy Dalam memang
dilahirkan untuk berjalan. Sudah menjadi adat mereka bahwa kemanapun pergi hanya dengan cara berjalan kaki, dan tanpa alas kaki, Herman bercerita, ia ingin
suatu ketika mengunjungi Bandung, caranya
?, ya berjalanan kaki…. Mereka tidak akan melanggar aturan ini, bagi
yang melanggar bisa kena sangsi dikeluarkan dari Baduy Dalam oleh sang Pu’un
atau kepala suku / kepala adat. Ujar Herman lagi, kalau ke Jakarta sih biasa,
tak bedanya seperti ke ladang, kembali kekagumanku tak bisa disembunyikan, aku
menepuk nepuk bahu Herman yang meskipun berpostur kecil tapi tangguh… “rata-rata dua hari kami menempuh perjalanan ke Jakarta”, lanjutnya. Sekali lagi…
Luar Biasa…
Alhamdulillah hari ini langit cerah dan tak ada hujan,
sehingga kami lebih bisa menikmati perjalanan dan semua pemandangan yang ada
sejauh ini, seolah alam sengaja menyediakan dirinya untuk kami, sekali lagi terimakasih
Allah atas keindahan ini…
Jembatan Bambu, Cimarenggo, Baduy Luar |
Sebuah jembatan terbuat dari bambu ada di depan kami, diatas
sungai yang cukup lebar dan jauh dibawah. Konstruksi jembatan ini seratus
persen dari bambu, tanpa paku atau kawat, disambung hanya dengan menggunakan
tali yang terbuat dari sabut hitam untuk mengikat, kami melintasinya, dan
terasa bergoyang. Ngeri-ngeri sedap melintasinya, apalagi kalau melihat
kebawah…he..he.
Diujung jembatan kami melihat sederetan rumah panggung
berukuran kecil, sekitar 2 kali 1,5 meter, setinggi 2 meter, beratap rumbia,
tanpa pintu, dan ternyata ini adalah lumbung milik Baduy Luar, untuk menyimpan
hasil bumi.
Wanita Baduy Luar, menenun di teras rumah |
Oh iya, ada yang terlewat… ketika kami melintasi pemukiman
Baduy kami dihibur oleh alunan suara yang khas, meskipun tidak teratur, tetapi
tetap menjadi alunan yang indah yang membentuk harmony ditengah kesunyian
pemukiman itu. Aku penasaran suara apakah gerangan, dan belakangan baru
ketahuan ternyata itu adalah suara dua batang kayu yang beradu sahut menyahut,
datang dari rumah rumah Baduy, dimainkan oleh ibu ibu yang sedang menenun. Ya… suara itu adalah suara yang datang
dari batang kayu yang beradu pada alat tenun tradisional, masyarakat Baduy
memenuhi kebutuhan pakaiannya dengan cara menenun sendiri, sebagian produksinya
bisa dijual untuk ditukar dengan kebutuhan hidup yang lain
Lanjut ke Wonderful Baduy (part 2)
Cerita ini juga dimuat di http://www.khatulistiwa.info/2013/06/suku-baduy.html
No comments:
Post a Comment