Masyarakat Arif Baduy
June 5, 2013
Melintasi hutan, menuju Baduy Dalam |
Sudah dua jam kami berjalan tapi Herman bilang ini belum lagi sepertiga perjalanan. Wah… aku agak khawatir kita baru akan sampai di pemukiman Baduy Dalam setelah gelap. Rombongan ini terlalu santai dalam menempuh perjalanan, kami harus mengurangi istirahat agar bisa tiba sebelum gelap. Tak terasa kami menemui satu lagi jembatan Bambu diatas sungai. Ada kawan yang mengingatkan, diseberang sana adalah wilayah adat Badui Dalam. Berarti kita harus siap-siap mematuhi segala ketentuan yang disyaratkan untuk boleh memasuki kawasan Baduy Dalam. Antara lain tidak boleh memotret, dan aku puas-puaskan memotret disini.
Lumbung Baduy Luar, tepat setelah jembatan Cimarenggo |
Masyarakat Badui Dalam memang memiliki adat atau aturan yang
jauh lebih ketat dibanding Baduy Luar. Masyarakat Baduy Dalam, begitu juga tamu
yang memasuki wilayah ini harus mematuhinya, tidak ada technology
seperti listrik, mobile phone dsb. Tidak ada
chemistry seperti sabun, pasta gigi dan shampoo yang bisa mencemari
lingkungan. Sambil terus berjalan kami
banyak berbincang tentang adat istiadat dan tata kehidupan Baduy yang bersahaja.
Orang Baduy mandi di sungai, tanpa sabun, mencuci tanpa sabun, sebagai gantinya
mereka menggunakan bahan dari tumbuhan yang di Jawa dulu kita kenal sebagai
“klerek” untuk mencuci. Kami hanya diperbolehkan menginap satu malam saja, jadi
besok kami harus meninggalkan kawasan ini, itu sudah adat, tak bisa dilanggar…
Alam Baduy |
Rumah Baduy Dalam, tidak berjendela, hanya memiliki satu pintu yang juga terbuat dari bambu dan tidak berkunci. Herman bilang disini aman, kriminalitas 0 %, namun masyarakat Baduy Dalam tetap memiliki kegiatan meronda, khususnya di siang hari, terutama ditujukan untuk mengantisipasi kalau kalau ada tamu yang datang, atau untuk mengecek apakah ada api yang belum padam dari dalam rumah rumah Baduy Dalam tersebut. Ya, Rumah Baduy Dalam, setidaknya dari rumah Herman yang kami tempati, seperti halnya rumah Baduy Luar terbuat dari kayu, dan Bambu, berdinding anyaman bambu, dan berlantai bambu, dan ada 2 tungku diatas lantai bambu tersebut. Dijlaskan bahwa diatas lantai bambu tersebut dilapis dulu dengan tanah liat baru diletakkan tungku diatasnya berbentuk seperti bangku dan dibagian tengah bolong. Tungku ini dibuat dari campuran tanah dan serat kayu, padat kuat dan tidak terbakar. Mereka memasak dengan menggunakan kayu bakar di dalam rumah, tetapi anehnya tidak banyak asap dan tidak terasa pengap.
Ukuran rumah Baduy Dalam sepertinya seragam, sekitar 6 x 6 meter persegi, berbentuk segi empat. Dipojok belakang dibuat lagi satu ruangan berukuran sekitar 3 x 3 meter persegi, tanpa pintu, dan ada satu lagi tungku didalamnya. Sederhana sekali, tanpa perabotan apapun, kosong, mungkin karena memang orang Baduy tidak memerlukan perabotan. Perkakas yang kami temui dan agak berteknologi hanyalah panci untuk memasak air, botol tempat air putih yang dihidangkan kepada kami, sendok dan piring. Gelas pun terbuat dari bambu yang dipotong melintang dan bibir gelasnya disayat tipis sehingga memudahkan kita meminum air dari dalamnya. Rasanya piring dan sendok itu ada karena utk menjamu tamu seperti kami. Hanya ada satu penerangan di rumah ini, lampu tempel yang terbuat dari bambu dan didalamnya diltakkan mangkok kecil berisi minyak kelapa, lalu sumbu terbuat dari kain dimasukkan kdalamnya dan ujungnya yang akan disulut dengan api. Mereka tidur tanpa alas dan tanpa bantal, sangat bersahaja.
Air mereka ambil dari sungai dengan menggunakan potongan bambu diantara dua buku, dan di salah satu ujungnya disisakan sedikit untuk pegangan, persis seperti kentongan di kampong kampong di jawa yang biasa dipakai sebagai alat music, yang digunakan saat bulan puasa untuk membangunkan sahur. Cuma yang disini tidak dilubangi memanjang, tetapi di buat lubang kecil dibagian atas, dekat dengan pegangannya, yang fungsinya untuk memasukkan air dan mengeluarkan air. Mereka memiliki banyak kantong air seperti ini dan diletakkan di teras didekat pintu masuk, rupanya setiap mereka pergi ke sungai selalu membawa “kentongan air” ini untuk diisi dan diletakkan di teras rumah sebagai persediaan, baik untuk masak maupun sekedar cuci tangan atau kaki.
Malam itu kami mandi di sungai, rame rame kami menuju sungai dengan menggunakan senter. Kami diijinkan memakai senter untuk penerangan selama perjalanan kami dan kami mandi tanpa sabun, tetapi dengan dedaunan tertentu yang terdapat di pinggir sungai. Kami tidak gosok gigi dengan menggunakan pasta gigi, kami membasuh badan dengan air sungai yang jernih dan dingin. Segar, rsanya nyaman sekali, mungkin kami ter suggesti oleh fakta bahwa air ini murni tanpa tercemari. Kami memang sedang berada ditengah kemurnian alam. Sayang sekali kami hanya boleh menginap semalam disini.
Selepas mandi, kami segera menuju rumah dan melaksanakan sholat berjamaah bergantian. Herman menunjukkan arah kiblat kepada kami. Lalu sejenak kami diskusi mengenai keyakinan, seperti penuturan Herman, Masyarakat Baduy menganut agama kuno “sunda wiwitan”, nabinya “Adam”. Kami tidak sempet bertanya mengenai ritual-ritual yang dimiliki, tetapi dari kuatnya mereka mempertahankan adat leluhur yang amat luar biasa ini, serta betapa taatnya mereka menjaga tradisi ini, saya sempet berangan-angan, jangan jangan mereka memang keturunan Adam. Dan dulu Adam pernah tinggal disini..he..he.. Mereka adalah orang-orang yang murni dan hidup dialam yang murni, cukuplah menjadi cermin buat kita yang hidup di luar Baduy, seberapa besar kontribusi kita terhadap perusakan Bumi…
Sejenak malam itu aku “nongkrong” diluar. Dan ketika menengadah ke langit… wow… luar biasa indah… Langit malam itu dipadati oleh bintang bintang yang cemerlang, bintang bintang itu seperti berhimpit himpitan, pemandangan yang sudah bertahun tahun aku tidak pernah melihatnya, udara yang murni tanpa polusi memberi ruang kepada bintang bintang menampakkan kecantikannya diantara silhouette pohon pohon. Sekali lagi terimakasih Tuhan atas keindahan ini…
Pagi itu kami bangun ketika hari masih gelap. Aku bangun karena kedinginan, rupanya teman teman pada bangun karena alasan yang sama, kami sholat subuh berjamaah dan bergantian, lalu kopi terhidangkan. Dan tentu saja sarapan, nasi putih, indomie rebus dan telor. Bahan bahan kami bawa dari Jakarta, dan Bu Herman memasaknya untuk kami. Beliau menambahkan ikan asin pada menu pagi ini, hmm nikmat sekali….. Aku memutuskan untuk tidak mandi pagi ini, alasannya dingiii…nn. Dan kami segera berkemas untuk melanjutkan perjalanan meninggalkan Baduy Dalam, melintasi rute yang lain menuju jembatan akar. Herman mengingatkan untuk membawa bekal air yang cukup karena sepanjang perjalanan selama kurang lebih setengah hari nanti tidak akan menemukan warung yang menjual air…
Meninggalkan Baduy Dalam |
Kami mulai perjalanan menembus perkampungan Baduy Dalam. Keluar melalui sisi lain perkampungan ini, dan mulai naik turun gunung seperti halnya perjalanan kemarin. beberapakali menemui persimpangan, dimana di jalan masuk persimpangan ini ditandai dengan dua ranting pohon yg diletakkan ditanah pada posisi menyilang, artinya kami dilarang masuk, karena jalan setapak tersebut mengarah ke “hutan larangan”. Daerah yang tidak boleh sembarang orang memasukinya. Kadang-kadang daerah larangan tersebut ditandai dengan bambu yang dipasang menutup jalan seperti halnya portal di perumahan di Jakarta. Kami juga melewati jembatan bambu, serta jembatan yang terbuat dari batang kayu besar yang diletakkan begitu saja diatas sungai kecil. Kami juga beberapa kali berpapasan dengan orang Baduy Dalam, dengan pakaiannya yang khas, mungkin baru kembali dari ladang…
April dan Herman |
Seperti inilah barangkali nenek moyang kita dahulu, ratusan
atau ribuan tahun yang lampau hidup bersahaja di alam yang murni.
Anak Baduy dalam, dan Jembatan Akar |
Rumah Tingkat, Baduy Luar |
Perkampungan Baduy Luar ini berada di dusun Gerendeng, Desa Kayagati, tetapi penghuninya adalah orang-orang Kanekes. Di pemukiman ini aku menemukan sebuah rumah Baduy yang bertingkat, rasanya ini satu satunya, karena aku tidak pernah temukan sebelumnya. Di dusun ini aku sempet mengabadikan bagaimana para wanita menumpuk padi untuk diambil berasnya.
Baduy Luar, menumbuk padi |
Pemukiman Baduy, khususnya Baduy Dalam, memang secara geografis terlindungi dari kontaminasi unsur-unsur luar. Lokasinya, berada ditengah-tengah hutan dan dikelilingi gunung-gunung, sementara untuk mencapainya hanya dengan satu cara yaitu berjalan kaki menembus hutan, mendaki dan menuruni lembah-lembah selama berjam-jam. Maka secara alamiah, kehidupan masyarakat Baduy dengan segala kearifannya bisa bertahan dan terjaga hingga saat ini. Tanpa bermaksud mengabaikan pentingnya pendidikan dan teknologi bagi kesejahteraan umat manusia, bahwa apa yang kita lihat dan rasakan tentang masyarakat Baduy sungguh sebuah pengingat bagi kita tentang sejatinya hidup, tentang damai, sejahtera, dan bahagia di bumi, harmonis dan menyatu dengan kemurnian alam.
Semalam di Baduy, is such a wonderful experience… dalam hati aku berjanji, aku akan kembali, untuk belajar lebih banyak tentang wisdom-nya, tentang kemurniannya…
this is the wonderful of life… Wonderful Baduy.
Photo bersama, sebelum meninggalkan Baduy |
Lanjut ke Wonderful Baduy (Part 3)
Cerita ini juga dimuat di http://www.khatulistiwa.info/2013/06/masyarakat-baduy-dalam.html
No comments:
Post a Comment