Wednesday, May 20, 2015

Mojopahit dan Cheng Ho

Cheng Ho atau Zheng He atau Sam Poo Kong, nama ini telah dikenal luas di Nusantara khususnya di tanah Jawa, Ia terhubung dengan sejarah Mojopahit. Catatan expedisinya menunjukkan bahwa mereka 6 kali berlabuh di Jawa, pada rentang waktu 1405 sampai 1433. Banyak dikabarkan tentang keadaan Mojopahit ketika itu.

Patung Cheng Ho, klenteng Sam Poo Kong. Semarang
Adalah Almarhum Prof. Hembing, yang banyak berjasa mencari tahu siapa itu Cheng Ho. Mungkin karena beliau adalah Chinese dan Muslim, sehingga muncul romantisme karena kesamaan latar belakang dengan Cheng Ho yang adalah Chinese dan Muslim pula. Prof. Hembing sampai harus datang ke Negri Cina untuk menelusuri dan mendapatkan informasi Cheng Ho dari sumber aslinya, sampai beliau bertemu Prof. Yuanzhi  dan disodori naskah-naskah kuno perihal Cheng Ho.

Diorama Cheng Ho, di Masjid Muhammad Cheng Ho. Surabaya
Dari Cheng Ho lah kita tahu bagaimana keadaan masyarakat Mojopahit ketika itu. Bahwa ternyata kendaraan Raja  adalah Gajah. Rakyat mojopahit berjalan tanpa alas kaki, rumahnya panggung setinggi 3 meter. Tak ada meja kursi didalamnya, kalau makan beramai ramai duduk dilantai, tak ada sendok garpu, atau sumpit, tapi menggunakan tangan, mengambil dari tempat yang sama (seperti kenduri dikampung).  Tamu yang datang tidak disuguhi teh atau minuman lain, tapi sirih. Suatu keadaan yang sangat bertolak belakang dengan masyarakat Cina ketika itu, sehingga kesan itu begitu kuat bagi rombongan Cheng Ho.

Laki-laki dan perempuan bertelanjang dada, rambutnya terurai panjang, tapi yang laki-laki rambutnya digelung diatas. Setiap laki-laki, tua maupun muda membawa keris dan diselipkan di depan, bukan dibelakang seperti yang kita lihat sekarang pada acara-acara pengantin adat Jawa. Keris didepan itu menggambarkan keadaan siap tempur, dan ternyata begitulah faktanya. Perselisihan antara lelaki yang terjadi di pasar-pasar diakhiri dengan perkelahian satu-lawan satu dengan menggunakan kerisnya. Jika lawannya mati, maka yang membunuh akan dihukum bunuh oleh tentara Mojopahit, kecuali dia melarikan diri kehutan dan tidak tertangkap. Jika bisa bertahan dihutan dan setelah 3 hari kembali ketempat asalnya, dia dibebaskan dari hukuman.

Mojopahit digambarkan amat kaya, istananya luas dan megah, dindingnya berlapis emas, begitu juga dengan peralatan rumah tangga Raja kebanyakan dibuat dari emas. Pada suatu perayaan hari besar, Raja suka menyaksikan olah raga yang unik, bagi kita mungkin terkesan sadis, tapi tidak jika dilihat dari budaya waktu itu. Pertarungan dua keluarga dengan menggunakan bambu runcing sepanjang 3 meter, para istri dan pembantu wanitanya membawa bambu runcing sepanjang 1 meter. Kepala keluarga yang kalah atau mati akan dibakar sesuai adat waktu itu, mayat diletakkan diatas tumpukan kayu bakar, sang istri yang menyulutkan api, tangisan pecah, lalu para istri dan pembantu wanitanya menyeburkan diri kedalam kobaran api, sebagai tanda kesetiaan.

Begitulah keadaan Mojopahit ketika itu, rakyatnya pemberani dan selalu siap tempur. Maka tidak heran jika sejarah kerajaan di Jawa penuh dengan intrik dan perebutan kekuasaan, pembunuhan, dan peperangan. Maka Sang jenius Hayam Wuruk dan Maha Patih Gajahmada tepat sekali sikap politiknya, membawa rakyat mojopahit yang tak mengenal takut dan semangat tempurnya tinggi itu, untuk keluar dan bertempur meluaskan wilayah kerajaan. Jadilah Mojopahit yang kita kenal wilayahnya meliputi Asia Tenggara bahkan lebih.

Klenteng Sam Poo Kong, Semarang

Klenteng Sam Poo Kong, Semarang

Klenteng Sam Poo Kong, Semarang
Expedisi yang dipimpin Cheng Ho ini, lebih tepat disebut sebagai perjalanan muhibah mencari sahabat. 300 kapal dengan 30.000 anggota adalah expedisi  yang luar biasa. Belum pernah ada sebelumnya, dan tidak pernah ada lagi setelahnya. Maka tidak heran jika Cheng Ho dikenang oleh masyarakat yang pernah dikunjunginya termasuk di Jawa. Klenteng Cheng Ho atau klenteng Sam Poo Kong yang dahulunya adalah Masjid, adalah bukti penghargaan atas keberadaannya.  Juga baru baru ini dibangun Masjid Muhammad Cheng Ho di Surabaya diinisiasi oleh sekompok Chinese Muslim, mengikuti pembangunan yang sama, Masjid Muhammad Cheng Ho di Pandaan.

Ketika itu banyak Masjid yang didirikan oleh komunitas Muslim Chinese di tanah Jawa antara lain di Bangil, dan Batang yang sekarang berubah fungsi menjadi Klenteng. Muslim Chinese ketika itu disebut sebagai Hanafi, atau orang-orang Islam yang bermadzab Hanafi. Mengikuti madzab yang diikuti oleh orang-orang Islam di Cina daratan, yang sudah ada sejak beberapa dinasti sebelumnya. Sampai pada ahirnya Islam dilarang di Cina daratan.

Masjid Muhammad Cheng Ho, Surabaya

Masjid Muhammad Cheng Ho, Pandaan - Pasuruan

Ornamen Masjid Muhammad Cheng Ho, Pandaan - Pasuruan
Kini, tahulah kita dari sejarah bahwa peranan orang-orang Cina tidak bisa dilepaskan dari sejarah Nusantara / Indonesia, sampai sekarang.

No comments:

Post a Comment