Thursday, May 21, 2015

Vihara Buddhayana, Tomohon



Aku temukan secara tidak sengaja dalam perjalanan dari Manado menuju ke Danao Tondano. Sekitar 20 km setelah meninggalkan kota Manado. Terletak disebelah kiri jalan, tepatnya di . JL. Sunge, No. 57, Kelurahan Kakaskasen II, Kec. Tomohon Utara, Indonesia.

Vihara Buddhayana
Golmen teman Manadoku mengatakan, kalo Abang memang hobi foto, Abang harus mampir kesini, gak akan kecewa katanya. Aku bilang OK, lalu kami belok kekiri masuk kedalam menuju ke Vihara. Begitu masuk kami disambut jajaran patung-patung disebelah kiri. Dibelakang patung-patung itu adalah kebun yang luas, seperti tidak berbatas, dan langsung menghadap ke Gunung Lokon, Indah sekali. Beruntung siang itu hari cerah, Gunung Lokon setinggi 1580 meter itu terlihat jelas sekali, nampak gagah, tak terlihat sebagai sebuah gunung berapi aktif yang baru saja meletus.

Patung-patung Lohan, pengikut 18 jalan Budha
Patung-patung itu ternyata masing-masing memliki nama, seperti misalnya patung ini (lihat gambar) Ia diberi nama Pantha The Elder, Ia digambarkan memiliki pengetahuan tak terbatas, dipercaya sebagai pangeran dari Kintota, kerajaan kecil di India. Ia adalah biarawan yang suka sekali semedi atau meditasi. Setelah selesai meditasi Ia mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan menghembuskan nafas panjang. Sebagai mana yang ditunjukkan pada sikap patung itu. Karenanya Ia juga disebut sebagai Lohan tangan terangkat.

Masing-masing patung itu memiliki ceritanya sendiri-sendiri, aku tidak ingat semua cerita-cerita itu. Diantara patung-patung itu antara lain Pindola, Nantimitolo, Angida, Asita, Rahula, Nagasena, Pantha the younger, Bodhidarma, dll. total ada 18 patung, sehingga mereka disebut sebagai 18 patung lohan pengikut delapan belas jalan Budha.

Patung Pantha the younger


Komplek Vihara Buddhayana ini diresmikan penggunaannya pada tanggal 17 Mei 2009 oleh Gubernur Sulawesi Utara, Drs S.H. Sarundajang. Tercatat pada prasasti berikut ini.

Prasasti peresmian VIhara Buddhayana
Sebagaimana layaknya klenteng, bangunan tempat ibadah ini juga memiliki ke-hasan Chinese architecture, didominasi warna merah cerah, ada kolam dengan patung kura-kura raksasa yang dari mulutnya setiap beberapa menit menyemburkan air yang menghantam logam berbentuk baling baling atau kipas angin, yangterletak ditengah-tengah kolam, sementara diatasnya menempel koin Cina raksasa, tiap-tiap dauana kipas nya memiliki ketebalan yang berbeda, sehingga ketika air menghantamnya, kipas dan koin itu berputar, dan mengeluarkan bunyi, karena ketebalannya yang berbeda maka bunyi yang dihasilkan dari daun kipas itu juga berbeda-beda. Secara keseluruhan bunyi-bunyi itu meghasilkan alunan music khas.  Indah sekali.

Paatung kura-kura di Vihara Buddhayana
Ada juga kuil Kwan Im, kecil mungil dengan tembok berwarna pink. Juga ada kolam yangdikelilingi Naga. Juga sebuah Pagoda yang menjadi land mark kuil ini. tinggi menjulang terdiri dari 9 tingkat. Jarang ditemui kuil Budha di Indonesia menggunakan corak Pagoda.

Kuil Kwan Im
kolam Naga
Telungatus didepan Pagoda
Juga dipelihara seekor Rusa yang diikat disebuah kebun, Ia termasuk salah satu penghuni kuil ini.

Rusa penghuni Vihara Buddhayana
Suasana damai di Vihara Buddhayana
Peace… itulah kesan paling kuat yang aku tangkap di kuil ini, sepi, bersih, taman-tamannya ditata rapih dan kelihatan sekali dirawat dengan baik, tidak banyak pengunjung, mungkin karena alrealnya yang cukup luas, dan mungkin juga karena umat Budha memang minoritas disini. Tidak seperti Masjid di Jawa, atau Gereja di Manado yang selalu ramai dikunjungi jamaah.

miniatur stupa Borobudur
Gunung Lokon, dilihat dari Vihara Buddhayana

Pagoda Vihara Buddhayana
Komplek Vihara Buddhayana ini bisa menjadi alternative tempat wisata Sulawesi Utara, ia menawarkan suasana yang berdeda.

Wednesday, May 20, 2015

Mojopahit dan Segaran

Segaran adalah sebutan untuk sebuah kolam di Trowulan, peninggalan Mojopahit.  Dari kata “segara” (bahasa jawa) artinya laut. Mungkin saking luasnya kolam ini, maka masyarakat setempat menyebutnya segaran, yaitu  kolam yang luas bagaikan laut. Dengan panjang 375 meter dan lebar 175 meter, kolam yang berdinding batu bata merah ini memang terlihat amat luas. Rasanya tidak ada di Indonesia kolam berdinding bata merah seluas ini.  


Segaran
Kolam berbentuk persegi panjang ini, terlihat seperti sebuah kolam renang raksasa. Batu bata merah berukuran besar-besar yang membentuk dinding kolam setebal 1,6 meter, dipadu dengan air kolam yang berwarna kecoklatan, mengesankan suasana kuno, namun menghasilkan kombinasi warna yang  indah.

Ukuran batu merah segaran

Segaran Mojopahit
Tahun 1926, pertama kali ditemukan terendam lumpur. Digali dan dikembalikan seperti bentuk aslinya oleh Bupati mojokerto pertama yaitu Kromojoyo bersama Ir. Marc Lain Pont, seorang Belanda. Begitulah berita yang ada di berbagai literature. Beberapa kali pemugaran dilakukan, terakhir tahun 1984 hingga nampak seperti keadaannya sekarang.

Segaran

Segaran
Belum diketahui pasti, kapan tepatnya kolam  ini dibangun, dan apa fungsi sesungguhnya  di jaman Mojopahit dulu. Ada teori yang mengatakan, untuk latihan renang dan ketrampilan di air para prajurit Mojopahit. Masuk akal, jika mengacu pada teori bahwa Mojopahit adalah kerajaan Maritim, yang terhubung ke laut lepas melalui kanal yang dibuat menuju ke kali Brantas.  Foto udara yang pernah dibuat dan dimuat di harian Kompas menunjukkan bukti itu, kanal-kanal artificial terlihat berada dibawah kota, dibelah jalan-jalan dan perkampungan baru. Betapa majunya system dan teknologi yang diterapkan waktu itu.

Sumber lain mengatakan bahwa segaran adalah reservoir, untuk cadangan air dimusim kemarau, untuk mengairi sawah-sawah. Ada juga yang berteori bahwa Segaran untuk hiburan keluarga raja-raja, juga untuk menjamu tamu-tamu negara.

Alkisah, Mojopahit pernah kedatangan tamu dari negri Tartar, dan diadakan jamuan mewah ditempat ini, selepas jamuan segala peralatan yang terbuat dari emas dilempar ke segaran, untuk member kesan pada para tamu, bahwa Mojopahit adalah negara yang kaya raya.

Kini segaran menjadi salah satu tempat yang mesti dituju di situs Mojopahit. Masyarakat setempat memanfaatkan segaran untuk rekreasi, memancing, atau budidaya ikan.

Srah Srang, Khmer

Jauh sebelum era Mojopahit, di kekaisaran Khmer, Cambodia sekarang, dibangun kolam sejenis. Dengan ukuran yang lebih luas yaitu 700 meter kali 350 meter. Berdinding batu andesit dengan ukuran besar-besar.

Srah Srang, segaran Khmer, Cambodia
Srah Srang, nama segaran ini, dibangun jaman Khmer ketika dipimpin oleh rajanya Rajendravarman I, berkuasa antara tahun 944 – 968 Masehi. Berarti semasa dengan kerajaan Sriwijaya. Lalu diperbaiki lagi di tahun 1200 ketika kerajaan Khmer dipimpin oleh  Jayavarman VII. Seperti halnya Segaran Mojopahit, Srah Srang Khmer berfungsi sebagai reservoir. Tetapi legenda yang ada di Cambodia, mengatakan bahwa Srah Srang adalah tempat pemandian para raja.

Srah Srang

Srah Srang

Srah Srang
Kini, Srah Srang juga menjadi salah satu destinasi wisata Angkor di Siem Reap - Cambodia, berada tidak jauh dari Angkor Wat (Candi Angkor), Angkor Thomb, Angkor Bayon, dll. Seam Reap memang kota Angkor, atau kota candi. Dan konon adalah pusat kerajaan Khmer ketika itu.


Mojopahit dan Cheng Ho

Cheng Ho atau Zheng He atau Sam Poo Kong, nama ini telah dikenal luas di Nusantara khususnya di tanah Jawa, Ia terhubung dengan sejarah Mojopahit. Catatan expedisinya menunjukkan bahwa mereka 6 kali berlabuh di Jawa, pada rentang waktu 1405 sampai 1433. Banyak dikabarkan tentang keadaan Mojopahit ketika itu.

Patung Cheng Ho, klenteng Sam Poo Kong. Semarang
Adalah Almarhum Prof. Hembing, yang banyak berjasa mencari tahu siapa itu Cheng Ho. Mungkin karena beliau adalah Chinese dan Muslim, sehingga muncul romantisme karena kesamaan latar belakang dengan Cheng Ho yang adalah Chinese dan Muslim pula. Prof. Hembing sampai harus datang ke Negri Cina untuk menelusuri dan mendapatkan informasi Cheng Ho dari sumber aslinya, sampai beliau bertemu Prof. Yuanzhi  dan disodori naskah-naskah kuno perihal Cheng Ho.

Diorama Cheng Ho, di Masjid Muhammad Cheng Ho. Surabaya
Dari Cheng Ho lah kita tahu bagaimana keadaan masyarakat Mojopahit ketika itu. Bahwa ternyata kendaraan Raja  adalah Gajah. Rakyat mojopahit berjalan tanpa alas kaki, rumahnya panggung setinggi 3 meter. Tak ada meja kursi didalamnya, kalau makan beramai ramai duduk dilantai, tak ada sendok garpu, atau sumpit, tapi menggunakan tangan, mengambil dari tempat yang sama (seperti kenduri dikampung).  Tamu yang datang tidak disuguhi teh atau minuman lain, tapi sirih. Suatu keadaan yang sangat bertolak belakang dengan masyarakat Cina ketika itu, sehingga kesan itu begitu kuat bagi rombongan Cheng Ho.

Laki-laki dan perempuan bertelanjang dada, rambutnya terurai panjang, tapi yang laki-laki rambutnya digelung diatas. Setiap laki-laki, tua maupun muda membawa keris dan diselipkan di depan, bukan dibelakang seperti yang kita lihat sekarang pada acara-acara pengantin adat Jawa. Keris didepan itu menggambarkan keadaan siap tempur, dan ternyata begitulah faktanya. Perselisihan antara lelaki yang terjadi di pasar-pasar diakhiri dengan perkelahian satu-lawan satu dengan menggunakan kerisnya. Jika lawannya mati, maka yang membunuh akan dihukum bunuh oleh tentara Mojopahit, kecuali dia melarikan diri kehutan dan tidak tertangkap. Jika bisa bertahan dihutan dan setelah 3 hari kembali ketempat asalnya, dia dibebaskan dari hukuman.

Mojopahit digambarkan amat kaya, istananya luas dan megah, dindingnya berlapis emas, begitu juga dengan peralatan rumah tangga Raja kebanyakan dibuat dari emas. Pada suatu perayaan hari besar, Raja suka menyaksikan olah raga yang unik, bagi kita mungkin terkesan sadis, tapi tidak jika dilihat dari budaya waktu itu. Pertarungan dua keluarga dengan menggunakan bambu runcing sepanjang 3 meter, para istri dan pembantu wanitanya membawa bambu runcing sepanjang 1 meter. Kepala keluarga yang kalah atau mati akan dibakar sesuai adat waktu itu, mayat diletakkan diatas tumpukan kayu bakar, sang istri yang menyulutkan api, tangisan pecah, lalu para istri dan pembantu wanitanya menyeburkan diri kedalam kobaran api, sebagai tanda kesetiaan.

Begitulah keadaan Mojopahit ketika itu, rakyatnya pemberani dan selalu siap tempur. Maka tidak heran jika sejarah kerajaan di Jawa penuh dengan intrik dan perebutan kekuasaan, pembunuhan, dan peperangan. Maka Sang jenius Hayam Wuruk dan Maha Patih Gajahmada tepat sekali sikap politiknya, membawa rakyat mojopahit yang tak mengenal takut dan semangat tempurnya tinggi itu, untuk keluar dan bertempur meluaskan wilayah kerajaan. Jadilah Mojopahit yang kita kenal wilayahnya meliputi Asia Tenggara bahkan lebih.

Klenteng Sam Poo Kong, Semarang

Klenteng Sam Poo Kong, Semarang

Klenteng Sam Poo Kong, Semarang
Expedisi yang dipimpin Cheng Ho ini, lebih tepat disebut sebagai perjalanan muhibah mencari sahabat. 300 kapal dengan 30.000 anggota adalah expedisi  yang luar biasa. Belum pernah ada sebelumnya, dan tidak pernah ada lagi setelahnya. Maka tidak heran jika Cheng Ho dikenang oleh masyarakat yang pernah dikunjunginya termasuk di Jawa. Klenteng Cheng Ho atau klenteng Sam Poo Kong yang dahulunya adalah Masjid, adalah bukti penghargaan atas keberadaannya.  Juga baru baru ini dibangun Masjid Muhammad Cheng Ho di Surabaya diinisiasi oleh sekompok Chinese Muslim, mengikuti pembangunan yang sama, Masjid Muhammad Cheng Ho di Pandaan.

Ketika itu banyak Masjid yang didirikan oleh komunitas Muslim Chinese di tanah Jawa antara lain di Bangil, dan Batang yang sekarang berubah fungsi menjadi Klenteng. Muslim Chinese ketika itu disebut sebagai Hanafi, atau orang-orang Islam yang bermadzab Hanafi. Mengikuti madzab yang diikuti oleh orang-orang Islam di Cina daratan, yang sudah ada sejak beberapa dinasti sebelumnya. Sampai pada ahirnya Islam dilarang di Cina daratan.

Masjid Muhammad Cheng Ho, Surabaya

Masjid Muhammad Cheng Ho, Pandaan - Pasuruan

Ornamen Masjid Muhammad Cheng Ho, Pandaan - Pasuruan
Kini, tahulah kita dari sejarah bahwa peranan orang-orang Cina tidak bisa dilepaskan dari sejarah Nusantara / Indonesia, sampai sekarang.

Saturday, May 16, 2015

Pekalongan, Loji, dan Nelayan (Part 1)

Pekalongan

Kota dipesisir utara ini tak banyak disebut di sejarah Nusantara. Baik dimasa Mojopahit, atau Mataram. Tak ada juga cerita Cheng Ho berlabuh disini. Dimasa lalu, Pekalongan tak setenar kota-kota lain disisi pantura seperti Cirebon, Semarang, Jepara, Tuban, Gresik. Tapi kota ini sesungguhnya menyimpan misteri yang menarik.

Masjid Agung Pekalongan
Disebuah buku yang aku pernah baca beberapa tahun lalu, disebutkan bahwa dikota inilah Loji pertama dibangun di Indonesia. Loji, adalah sebuatan lain untuk Sinagog, tempat ibadah orang-orang Yahudi. Sementara sumber lain mengatakan Loji pertama dibangun di Batavia (Jakarta).  Yang menarik adalah latar belakang dibangunnya Loji di Pekalongan, konon pembangunan Loji terkait dengan strategy VOC  / Belanda dalam usaha menguasai Nusantara. Teorinya sederhana, jika VOC berhasil menguasai / mengambil hati masyarakat Pekalongan maka kota-kota lain dan Nusantara akan dengan mudah bisa dikuasai. Pertanyaannya kenapa Pekalongan yang dijadikan barometer ?

Penamaan Loji juga menjadi sebuah pertanyaan sendiri, Loji dipilih menggantikan Sinagog sebagai nama asli tempat ibadah orang-orang Yahudi. Loji lebih terkait dengan kegiatan freemasonry, Loji pada ahirnya juga menjadi tempat berkumpul tokoh-tokoh lintas agama dan melakukan kegiatan yang berbau mistis, sehingga sebagian masyarakat menyebut Loji sebagai gedung setan, karena dikira kegiatan mereka dalam rangka memanggil roh halus atau setan. Jadi, jika menggunakan nama Sinagog, mungkin akan mendapat resistensi yang luas dari masyarakat Pekalongan yang agamis dan islami. Dengan Loji dan freemason-nya, belanda berhasil merangkul tokoh-tokoh local khususnya dari kalangan Islam.

Kembali ke pertanyaan awal, kenapa Pekalongan ?. Di kota batik ini masyarakatnya dikenal religious, santun, tatakramanya apik, lebih mirip masyarakat Jawa pedalaman ketimbang pesisir yang lebih bebas dan terbuka. Bertahannya industry batik masyarakat di kota ini adalah contoh dan bukti bahwa masyarakat Pekalongan yang mayoritas Muslim ketika itu kreatif, produktif dan berjiwa dagang. Kombinasi antara religious dan kreatif produktif, serta santri ini mungkin membentuk karakter dan system social budaya tersendiri, dan resistance terhadap culture eropa/ belanda. Maka itu Belanda merasa perlu memprioritaskan merangkul masyarakat Pekalongan sebagai strategy penaklukan non militer, jika berhasil maka masyarakat kota lain akan lebih mudah dirangkul (baca : ditaklukkan secara social budaya).

Begitulah kira-kira latar belakang kenapa Pekalongan menjadi kota yang penting bagi Belanda. Dan aku, sudah lama berkeinginan meng eksplore Pekalongan, sampai kesempatan itu akhirnya tiba.

Jembatan Loji dengan latar belakang Masjid Al-Ikhlas
Jembatan Loji dengan latar belakang Gereja 
Loji adalah obyek pertama yang aku cari. Pak Zainal Abidin, teman baruku, asli pekalongan, membantuku menjelajahi Pekalongan, kami menuju sebuah jembatan yang bernama jembatan Loji, orang-orang disekitar situ menyebut sungainya adalah sungai Loji, padahal nama sungai yang sebenarnya adalah sungai Kupang. Nama Loji ini pasti terkait dengan gedung Loji, tetapi gedung itu sudah tidak ada, warga setempat memberitahuku bahwa dulu memang ada bangunan yang disebut  gedung Loji, tapi sudah lama dibongkar dan berubah menjadi sebuah rumah biasa yang cukup mewah, terletak disebelah barat jembatan, diseberang Masjid Al-Ikhlas.

Klenteng Po An Thian
Disekitar jembatan Loji ini ada pula gereja dan klenteng, juga bangunan tua bekas kantor residence di Jaman Belanda.

Tidak banyak informasi yang aku dapat mengenai aktifitas Loji dimasa lalu serta pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat local.  

Warung Nasi Uwet Pak Zarkasih,
dengan menu khas Pekalongan Nasi Begono
Aku sempatkan mampir dulu ke sebuah warung makan, namanya warung Nasi Uwet Haji Zarkasih, dengan menu khas Pekalongan, Nasi Begono. Sayur yang terbuat dari tewel atau nangka muda yang diiris kecil kecil, seperti gudeg Jogja, tetapi teksturnya lebih nampak, tidak lembut atau cenderung hancur seperti gudeg, dan berkuah. Ditambah potongan daging yang juga direbus bareng sayurnya dan dituangkan ke sepiring nasi. Rasanya, mantab, nikmat, dagingnya juga empuk.

Makam Habib Ahmad Bin Abdullah Bin Tholib Al-Atos

Makam Mbah Fakih
Selepas sarapan nasi begono, aku melanjutkan bersilaturrahim ke Makam Habib Ahmad bin Abdullah Bin Tholib al-Atos. Wafat th 1927, tokoh yang disebut wali ini, semasa hidupnya  sangat dihormati dan disegani, baik oleh kalangan umat muslim sendiri maupun umat lain. Konon kisahnya dulu para perempuan tidak berani melewati rumahnya tanpa berkerudung, termasuk wanita cina dan belanda. Barangkali ini menunjukkan betapa islaminya kota ini dulu.  Kini makam Habib banyak dikunjungi jamaah dalam rangka silaturrahim atau ziarah, termasuk ketika aku tiba disini, beberapa bus besar parkir membawa rombongan peziarah dari berbagai kota. Didekat makam Habib Ahmad, masih didalam satu komplek pekuburan, terdapat pula makam Kyai Fakih, yang juga banyak diziarahi, beliau dikenang sebagai ahli fikih dijamannya.  Disini juga terdapat makam leluhur Habib Luthfi, Habib Luthfi sendiri hingga kini masih terus berdakwah, beliau salah satu Habib yang mashur ditanah jawa.

Masjid Raudhah
Aku juga mengunjungi Masjid Raudhah, Masjid yang selalu ramai pada saat haul Habib Ahmad, Masjid tempat dulu Habib Ahmad berdakwah, menebarkan ahlak yang baik, dan menjalankan amar makruf nahi munkar.

Masjid Sapuro


Bedug Masjid Sapuro
Selanjutnya aku mengunjungi Masjid Sapuro, konon inilah Masjid tertua di Pekalongan, aku menyempatkan sholat dhuhur disini. Masjid yang terletak di desa Sapuro ini masih terawat baik, sayang tempatnya yang persis ditengah-tengah perkampungan dan berimpitan dengan rumah penduduk, menyebabkan agak sulit mengambil foto.

Kemudian aku berkeliling kota untuk melihat Masjid Agung Pekalongan, dan beberapa bangunan tua peninggalan belanda, antara lain bekas gedung residence belanda, rumah residence, serta stasiun Pekalongan yang bentuknya belum banyak berubah. Ada juga penjara jaman belanda, yang dibangun tahun 1913, hingga kini masih berfungsi sebagai Lapas.

Stasiun Pekalongan
Stasiun Pekalongan
Lapas Klas 2A, Pekalongan
bekas penjara jaman belanda
Dari perjalanan yang singkat itu, dapatlah kiranya disimpulkan bahwa strategy Belanda berhasil, dan nuansa islaminya masyarakat pekalongan masih dapat aku rasakan ketika berinteraksi dengan mereka.

Lanjut ke : Pekalongan, Loji, dan Nelayan (Part 2)

Pekalongan, Loji, dan Nelayan (Part 2)



Pelabuhan Ikan Pekalongan, adalah tempat terakhir yang aku kunjungi, konon ini adalah pelabuhan ikan terbesar di Jawa, disini juga ada TPI, Tempat Pelelangan Ikan. Terletak di pantai Slamaran. Lelang ikan berlangsung terbuka, dan tertib. Pelabuhan dan TPI Pekalongan ini sangat bersih dan rapi, jika dibanding dengan kebanyakan pelabuhan ikan yang terkesan kotor, kumuh, dan bau.

Pagi, di pantai Slamaran, Pekalongan
Terdapat satu gedung tua berarsitektur belanda yang masih terawat rapih dan bersih, serta masih digunakan untuk kantor. Sangat klasik dan indah.

Pelabuhan Ikan Pekalongan yg bersih
Menyaksikan sendiri proses sejak ikan diturunkan dari kapal yang baru bersandar, kemudian dibawa kedalam TPI untuk siap dilelang, ditata sedemikian rupa sehingga tersusun rapi per jenis ikan dan ukuran, dimana masing masing sudah dimasukkan kedalam kantong plastic, sehingga ikan tetap bersih dan hygien. Adalah suatu pengalaman tersendiri, sungguh luar biasa. Konon pelabuhan disini memang memiliki reputasi mentereng. Adalah pelabuhan ikan terbesar sekaligus terbersih di Jawa.

Kapal Nelayan, bersandar di Pelabuhan Ikan Pekalongan
Bertolak belakang dengan reputasi tersebut, para nelayan yang sempet aku temui, bercerita bahwa kondisi dunia perikanan Indonesia sesungguhnya memprihatinkan. Setidaknya apa yang mereka saksikan dan  alami cukup menjadi gambaran untuk mewakili kondisi yang utuh. Aku mendengarkan, sesekali menanggapi dan berkomentar serta berusaha menghibur agar mereka tetap sabar.

Dituturkan, dulu tahun 90-an rata-rata 500 sampai 700 kapal yang bersandar untuk bongkar muat, kini hanya tinggal antara 150 sampai 200 kapal saja. Dulu lelang berlangsung dari pagi buta sampai sore hari, kini rata rata dimulai jam setengah delapan, belum tengah hari sudah habis terjual.

Tanpa ditanya apa sebabnya, mereka dengan lancar menjelaskan penyebabnya. Ini bukan karena daya beli masyarakat menurun. Tapi karena fishing groundnya sudah habis. Apa itu fishing ground Pak ?, tanyaku. Ya lokasi penangkapan ikan, ada 2 tempat yang umum didatangi oleh nelayan Pekalongan, juga nelayan daerah lain, yaitu Masalembo, dan Natuna. Kenapa bisa habis ? karena over fishing, tambahnya. Segitu banyakkah kapal kapal kita sampai ikannya habis di tangkap ?, tidak…

Kapal asing justru yang banyak, kalau malam, dilokasi penangkapan suasananya kayak pasar malam, kerlap kerlip lampu kapal dimana-mana, kebanyakan mereka illegal, curi ikan di Indonesia, untuk amannya mereka ganti bendera merah putih ditengah laut. Mereka pakai jaring pukat, sehingga ikan ikan kecil pun ikut tertangkap, dan terumbu karang rusak karenanya. Sehingga ya bisa dibayangkan, lama-lama ikannya habis. Karena yang kecil gak sempet tumbuh jadi besar  untuk suatu hari nanti ditangkap.  Ditambah lagi tempet berkembang biaknya, yaitu terumbu karangnya juga rusak.

Sementara kami yang asli nelayan local dilarang pakai jaring pukat.

Apakah tidak dilaporkan kondisi ini Pak, tanyaku.
Sudah Mas, jawabnya
Terus gimana hasilnya ?
Ya, begitulah…. 

Jawaban penuh makna. Aku tidak melanjutkan Tanya jawab ini. aku coba menghibur dan memberi harapan. Bukankah mentri Susi sekarang ini serius sekali melawan illegal fishing, banyak kapal ditenggelamkan, seperti yang kita lihat di TV ?. ya… betul, semoga itu bukan pencritaan, sahutnya. Kenapa begitu Pak ? tanyaku spontan. Masak sebulan Cuma satu yang ditenggelamkan ?, di laut sono ratusan Pak yang nyolong….

Sabar Pak… pelan-pelan, setidaknya sudah dimulai oleh Mentri Susi, semoga kesananya akan semakin banyak lagi kapal-kapal asing yang mencuri ikan di laut kita, ditangkapi oleh Angkatan Laut kita, dan langsung ditenggelamkan, supaya ada efek jera. Ikan kita melimpah dan habitatnya tidak rusak. Nelayan kita kembali melaut dan mendapat hasil yang melimpah. Tempat pelelangan ikan disini kembali ramai dari subuh sampai maghrib.

Aamiin… 

Gedung bekas peninggalan Belanda yang masih terawat
Muara Sungai Slamaran, pintu masuk menuju Pelabuhan Ikan Pekalongan