Thursday, April 9, 2015

Lintas Manado (Part 2)



Makam Tuanku Imam Bonjol
13 October 2013

PETO SYARIF, adakah yang mengenal nama ini ?
Dialah Tuanku Imam Bonjol, Pahlawan nasional asal  Sumatera Barat. 

Komplek Makam Tuanku Imam Bonjol

Peto Syarif Ibnu Pandito Bayanuddin, bergelar Tuanku Imam Bonjol. Lahir tahun 1774 di Tanjung Bungo / Bonjol, Sumatera Barat. Wafat tanggal 6 November 1854 di Lotta, Minahasa, dalam pengasingan pemerintah colonial Belanda karena berperang menentang penjajahan untuk kemerdekaan tanah air, bangsa dan negara.

Makam Tuanku Imam Bonjol, dan diorama disebelahnya

Begitulah yang tertulis pada prasasti di Makam Imam Bonjol yang berada di tepi sungai Lotta, di Desa Lotta, Minahasa. Aku sejujurnya tidak tahu atau lupa, bahwa pahlawan nasional yang terkenal dengan perang padri ini, dimakamkan di Minahasa. Aku menemukan makam Tuanku Imam Bonjol secara tidak sengaja, pada perjalanan dari Manado menuju danau Tondano.

Gapura dan penunjuk arah Cagar Budaya Makam Tuanku Imam Bonjol

Disebuah tikungan di daerah Minahasa, aku melihat ada sebuah gapura disebelah kiri jalan, dengan arsitektur bergaya khas Sumatera Barat, dan terdapat tulisan berhuruf arab pada dindingnya. Spontan aku bertanya pada kawanku “Golmen” yang asli Manado, “apaan tuh tadi, kok ada tulisan arabnya ?”. Aku bertanya begini karena bagiku, ini pemandangan aneh, ada sebuah gapura diujung jalan, berasitektur padang, bertuliskan arab, ditengah-tengah lingkungan yang mayoritas Nasrani. Itu makam Imam Bonjol kata Golmen. Spontan aku minta Golmen memutar mobilnya, kembali ke gapura tadi.

Patung Tuanku Imam Bonjol

Aku baru menyadari, ternyata ada rambu penunjuk jalan beberapa meter sebelum tikungan, yang menunjukkan persimpangan kearah Makam Imam Bonjol ke kiri, Tomohon ke kanan. Tak jauh dari rambu itu, disebelah kiri gapura ada patung manusia, seukuran laki-laki dewasa, berwarna putih, bersorban, dan berjubah. Inilah Imam Bonjol, kata Golmen. Aku turun dan mulai memotret, aku masih takjub sambil memandangi patung itu, ternyata Imam Bonjol dimakamkan disini. Pikiranku mulai meraih-raih memori yang tersimpan semasa sekolah dulu… gagal… tak ada sedikitpun cerita tersimpan dikepala, bahwa disinilah Imam Bonjol dimakamkan.

Bang, kita kedalam, masih 3 km lagi, disana makamnya
Hayuk..hayuk… aku menjawab setengah kaget, ajakannya membuyarkan lamunanku.

Rumah panggung, khas Minahasa

Kendaraan kami menuju kedalam, melaju pelan diatas aspal yang agak kasar namun masih terawat. Jalannya tidak terlalu lebar, tapi cukup untuk dua kendaraan berpapasan. Beberapa Geraja kami lewati, disebelah kiri dan kanan jalan. Sebagian besar bangunan rumah yang ada dikiri kanan jalan masih berbentuk rumah panggung, dengan halaman yang luas, dan rindang. Jarak antar rumah tidak terlalu berdekatan, suasananya kental pedesaan, asri, dan tenang. Dari bentuk rumah dan Gereja, serta mobil yang terparkir dihalaman rumah, menandakan bahwa masyarakat disini kehidupannya cukup makmur. Sepanjang perjalanan menuju ke dalam, aku melihat laki-laki, perempuan, tua, muda, dengan dandanan yang rapi, mengendarai motor, atau berjalan kaki dengan memegang kitab. Mereka sedang menuju gereja untuk beribadah, misa berlangsung beberapa kali sepanjang hari minggu itu kata Golmen. Nuansanya seperti kampung santri di tanah Jawa, religious sekali.

Masjid Tuanku Imam Bonjol

Kami berhenti didepan sebuah Masjid disebelah kanan jalan, bercat hijau, berukuran sedang, bersih terawat, persis diseberang jalan, dilahan yang jauh lebih luas, disitulah Makam Tuanku Imam Bonjol berada. Bangunan bergaya rumah Gadang ini terletak agak jauh kedalam, sementara halamannya tertata rapid an bersih. Lahan parkir juga luas.

Makam Tuanku Imam Bonjol

Assalamualaika ya ahli kubur… Tuanku Imam Bonjol. Lirih aku berucap salam, sambil memasuki komplek bangunan makam.  Bangunan berbentuk persegi ini berlantai dan berdinding keramik, terdapat pintu berteralis besi di keempat sisinya. Ada diorama bergambar Tuanku Imam Bonjol, bersorban dan berjubah serba putih, mengendarai kuda putih, sambil tangan kanannya mengacungkan pedang. Dikelilingi pengikutnya, dan sebuah bendera merah putih berkibar, dengan latar belakang hutan dan gunung. Menggambarkan berkobarnya semangat perjuangan kala itu.

Diorama Tuanku Imam Bonjol

Bang, dibelakang ada mushollah kecil, tempat dulu Imam Bonjol sholat. Golmen kembali meng-guide aku. OK, kita kebelakang kataku. Kami berjalan kebelakang, aku tidak melihat ada bangunan disitu. Golmen berjalan didepan, terus menuju kebawah, menuruni tangga yang curam, ternyata dibawah sana adalah sungai berarus deras, banyak batu-batu besar. Tangga dari semen ini menuju ke sebuah bangunan kecil dengan kubah berlafal Allah sebagai penanda bahwa ini adalah Mushollah. Berdiri persis di tepi sungai.

Mushollah, batu utk sholat Imam Bonjol ada didalamnya

Aku melepas alas kaki dan memasuki Mushollah, ruangannya terbagi dua, sebuah ruangan berukuran sekitar 4 kali 3 meter persegi, berlantai keramik, dan disebelah kirinya satu lagi ruangan berukuran lebih kecil, lantainya lebih rendah dan terdapat pancuran untuk berwudhu, serta sebuah batu besar, dengan permukaan yang datar, membujur dengan arah timur barat. Disitulah dulu, 200 tahun yang lalu, Imam Bonjol menghabiskan sebagian besar waktunya untuk sholat dan bertafakkur. Luar biasa… Aku mengambil air wudhu di pancuran, lalu sholat dua rokaat diatas batu, tempat Tuanku Imam Bonjol dulu sholat. Selesai sholat aku bacakan Al-Fatihah dan berdoa untuk Tuanku Imam Bonjol. Semoga Allah memuliakan beliau di alam ahirat, dan kita manusia sesudahnya bisa mengambil pelajaran yang baik dari kisah perjuangannya. Aamiin.

Dibatu ini Tuanku Imam Bonjol sholat selama pengasingannya

Aku sungguh kagum pada kekuatan pribadinya. Bagaimana tidak, saat ini, 200 tahun setelah masa pembuangan Imam Bonjol, daerah ini masih termasuk sepi dan dikelilingi hutan. Bagaimana pula keadaan di sini 200 tahun yang lalu ?, tentu masih berupa hutan lebat yang tidak berpenghuni. Imam Bonjol menghabiskan waktunya, disini untuk beribadah, sampai ajal menjemputnya di usia 80 tahun. Golmen menuturkan bahwa Imam Bonjol, selama pembuangannya ditemani oleh seorang pengawalnya yang setia, makamnya ada disebelah kompleks makam Tuanku Imam Bonjol.

Sungai Lotta

Aku membaca sebuah tulisan tangan diatas kertas karton, disertai foto-foto, ditempel di dinding Mushollah. Sebagian besar foto-foto itu sudah tidak terlihat lagi gambarnya, pudar karena kena air. Tulisan dengan huruf capital tanpa titik koma ini oleh seseorang yang bernama Nurdin Popa, yang membangun dan merawat bangunan.



     Bismillahirrahmaanirrohiim

Torang samua basudara, saudara seiman dan saudara sebangsa TUANKU IMAM BONJOL  /  PETO SYARIF IBNU PANDITO BAYANUDIN adalah seorang ulama selain beliau diakui sebagai pahlawan yang berjuang memerdekakan bangsanya dari penjajahan. Jadi secara khusus beliau adalah milik umat islam dan secara umum beliau juga milik bangsa Indonesia yang ikut merangkai sejarah perjuangan bangsa ini diantara sekian perjuangan beliau dalam perjuangan setelah pergolakan fisik yang dilaluinya adalah ketika beliau diasingkan hanya berdua dengan seorang pengawal hingga akhir hayatnya dan beliau tetap berjuang walau hanya tinggal sendiri maka disinilah beliau memilih satu tempat untuk perjuangan terakhirnya dengan selalu bermunajat kepada ALLAH diatas sebuah batu yang terletak ditengah-tengah sungai di lotta wilayah minahasa dan pada tanggal 13-2-2006 selesai sholat maghrib batu tempat sholat ini dihantam banjir sampai ke pinggir sungai dan sempat menabrak bangunan miras yang ada dihadapan batu ini pada tanggal 20-2-2006 kami tarik ketempat ini dan sekarang semua tinggal sejarah dan satu-satunya warisan yang berharga adalah sebongkah batu yang telah memberi arti besar bagi yang memahaminya untuk mengenangkan perjuangan beliau dan untuk menjaga nilai-nilai leluhur yang telah beliau ajarkan maka kita sebagai generasi penerus sudah selayaknya merawat apa yang beliau tinggalkan dan demi maksud tersebut diatas mengingat lokasinya sangat membutuhkan perhatian kami atas nama umat yang peduli menghimbau bagi siapa saja yang ingin berperan mengambil kesempatan untuk beribadah secara ikhlas ridho karena ALLAH SWT demi melestarikan nilai-nilai leluhur perjuangan seorang ulama dan suhadak ini.

Semoga hanya ALLAH mengetahui dan yang menghitung AMAL IBADAH kita AMIN.

Bangunan ini dapat dibangun hanya partisipasi para pengunjung BATU tempat sholat Tuanku Imam Bonjol

Begitulah bunyi tulisan itu.

Sementara komplek makam Tuanku Imam Bonjol, pernah dipugar dan terdapat pula prasasti pemugaran tahun 1992. Melalui partisipasi 11 perusahaan di Sulawesi Utara, dan pemda Sumatera Barat. Pemugaran yang dikoordinir oleh Freddy T. Rorimpandey ini diresmikan oleh Gubernur Sulawesi Utara saat itu C.J. Rantung.

Ini adalah rejeki bagiku, bisa bersilaturrahim ke Tuanku Imam Bonjol. Aku berterimakasih pada Golmen, Ia begitu fasih dan detail menjelaskan seluk beluk Makam Tuanku Imam Bonjol. Aku bangga pada Masyarakat Minahasa, mereka begitu religious dan toleran, serta tulus menunjukkan penghormatan dan penghargaan kepada ulama dan pahlawan dengan cara turut berpartisipasi membangun Komplek Makam Tuanku Imam Bonjol, meskipun beda keyakinan. Inilah Bhineka Tunggal Ika, inilah Indonesia. Seandainya seluruh bangsa ini berjiwa seperti ini, damailah Indonesiaku…

Aku rasa sudah cukup lama berada disini, meng eksplore komplek Makam Tuanku Imam Bonjol. Kami meninggalkan Lotte, melanjutkan perjalanan menuju Danau Tondano tujuan awalku.

Lanjut ke Lintas Manado (Part 2)

Monday, April 6, 2015

Wonderful Baduy (Part 4)



Memenuhi Janji, Kembali ke Baduy
September 8, 2013



bagian 2
Aku juga menemukan sebuah bangunan lumbung yang berubah fungsi. Umumnya lumbung digunakan untuk menyimpan hasil bumi, untuk keperluan jangka panjang. Lumbung yang ini mungkin sudah rusak, lalu dindingnya dilepas, dan digunakan untuk menyimpan kayu bakar.

Lumbung, berubah fungsi utk menyimpan kayu bakar, Baduy Luar

Dikesempatan lain, aku melihat sebuah lereng yang nyaris gundul, sehingga terlihat sebuah pondok kecil sendirian berada di tengah-tengahnya, dikemiringan sekitar 45 derajad. Sepintas kita melihatnya membahayakan. Tetapi sudah beratus tahun masyarakat Baduy berpengalaman mengelola hutan mereka, secara alamiah, tanpa sentuhan teknologi, tanpa polusi bahan kimia, untuk alam yang murni. Ladang ini mau diremajakan. Beberapa bulan kedepan, jika kita mengunjungi tempat ini lagi, mungkin pondok kecil ini tidak terlihat lagi, tertutup oleh rimbunnya pohon.

Lereng bekas pohon sengon, Baduy Luar

Pada kesempatan lain lagi, aku juga melihat deretan kayu dengan lubang berderet diatasnya, diletakkan berdiri menyandar ke teras rumah. Tadinya aku pikir ini alat permainan congklak, permainan tradisional seperti halnya di jawa. Tapi rupanya berbeda, ketika aku memotretnya, Kang Herman menjelaskan bahwa itu adalah alat untuk mencetak gula merah. Oh aku paham, pantas ada satu ruas bambu yang dilubangi diujung-ujungnya dan diikatkan tali di keduanya. Mungkin bambu ini digunakan untuk mengambil aren sebagai bahan baku gula merah.


Alat cetak gula aren, Baduy Luar

Kami tiba di jembatan bambu kedua, dibatas Dusun Cipaler. Diseberang sana adalah wilayah Baduy Dalam. Kami harus mematikan camera, lalu menyimpannya. Begitu juga semua peralatan komunikasi. Ketentuan ini harus dijalankan, bukan semata-mata demi menghormati adat setempat, tapi ini bagian dari commitment setiap orang yang memasuki wilayah Badui Dalam. Peringatan itu sudah terpampang di pintu masuk kawasan Baduy, di Ciboleger. Jadi, ini sudah menyangkut integritas seseorang. ini tentang kepatuhan akan aturan yang ada, kalo bukan kita yang menegakkannya, lalu siapa lagi ? Kemurnian alam Baduy dan Masyarakatnya sudah terjaga ratusan tahun, karena integritas pribadi-pribadi yang terinteraksi dengannya, baik masyarakat Baduy sendiri, maupun masyarakat diluar Baduy…

Sekali lagi kami melintasi sungai yang indah. Airnya dangkal dan mengalir beriak, dinaungi pohon-pohon yang teduh, adem. Suasana saat itu begitu damai, tenang, setenang wajah-wajah Baduy yang jujur. Kedamaian yang mempesona, yang bisa kita nikmati dan rasakan hanya beberapa jam saja dari Jakarta yang hingar bingar, riuh dengan berita tentang korupsi, kekerasan dan aneka kenistaan lainnya. Maka nikmat apa lagi yang mesti kita dustakan ?
Alam Baduy

Jembatan Bambu, Baduy Luar

Tak terasa, kami telah tiba di Cibeo. Hari masih terang, kami bersantai dulu, istirahat duduk-duduk diteras rumah Kang Herman. Rumah ini sepi karena Bu Herman masih di ladang dan belum kembali. Aku segera menuju ke sungai untuk membersihkan diri, mumpung masih sepi, sekaligus ambil wudhu untuk persiapan sholat maghrib dan isya nanti.

Kang Herman sibuk membersihkan rumah. Menyiapkan segala sesuatu, termasuk tungku untuk memasak. Tak lupa air putih yang segar… air Cibeo yang murni. Kami meneguknya dari gelas yang terbuat dari bambu, ini menjadi semacam ritual bagi kami. Malam itu kami berbincang panjang lebar tentang kehidupan, juga tentang Baduy, ditemani Bu Herman, Naldi dan Abah yang bergabung. Abah dengan sabar menceritakan apa-apa yang kami tanyakan, termasuk tentang rumah Baduy yang dibuat tanpa memangkas tanah, tanpa menggunakan sebatang paku pun. Ada satu lagi yang aku baru tahu, bahwa tiap rumah Baduy dalam, memiliki satu buah kayu panjang tanpa sambungan, sebagai “belandar” (istilah jawa) atau penopang utama dari atap rumah. Terletak diatas atau “wuwungan” (istilah jawa) dipasang sejajar lantai dari batas paling belakang sampai batas depan, kira kira diatas pintu rumah. Kayu ini ditebang sendiri, dan dibentuk hanya dengan menggunakan kampak, tanpa alat gergaji atau sejenisnya. Ini harus, ini aturan adat.

Kami semua menikmati makan malam secara bersama-sama, masakan Bu Herman. Nasi putih hasil tanaman Baduy, ditambah sayur dan ikan asin, nikmat sekali, sambil kami terus melanjutkan berdiskusi, dan bertukar pikiran. Selesai makan, kopi Baduy dihidangkan didalam gelas bambu, ditemani singkong yang tadi siang Kang herman ambil dari ladang, manis, empuk dan lembut, menandakan tanah Baduy yang subur meski tanpa pupuk sintetis.

Malam itu kami tak bisa menikmati indahnya langit dan gemerlapnya bintang seperti dahulu, karena malam ini langit diliputi awan mendung. Sayang sekali, padahal aku telah mempromosikan spektakulernya langit Baduy ini kepada teman-teman sejak hari sebelumnya. Kami gunakan waktu malam ini untuk berbincang di dalam rumah, karena diluar sedang gerimis. Aku terbangun pagi itu, aku sungguh tak ingat jam berapa tertidur ?, usai sholat subuh, tanpa mandi karena dingin, kami awali ritual pagi ini dengan segelas kopi Baduy dan sarapan nasi Baduy yang lezat. Lalu kami segera bersiap melanjutkan perjalanan meninggalkan Dusun Cibeo melintasi bukit Cimangseri menuju jembatan akar.

Kami berpamitan ke Bu Herman dan Abah, berterimakasih dan berjanji akan kembali lagi suatu hari nanti. Kami berjalan dengan formasi yang sama seperti kemarin, bertujuh. Meninggalkan pemukiman Baduy Dalam yang damai, menyusuri jalan-jalan batu diantara rumah-rumah Baduy, menyeberangi sungai kecil, dan tak ada lagi rumah, hanya hutan dan ladang yang kami lintasi. Kami menyeberangi sebuah sungai kecil dibalik bukit Cimangseri, artinya kami telah meninggalkan wilayah adat Badui Dalam, dan kami bisa menggunakan camera lagi. Kami tiba di sebuah pondok di ladang, setelah menempuh hampir 1 jam perjalanan. Istirahat sejenak sambil jeprat jepret apa saja yang menarik utk diabadikan, termasuk wajah Asda yang pendiam.

Asda, Baduy Dalam

Batas Baduy Dalam

Ahirnya kami tiba di jembatan akar, dibawahnya air cukup deras, mungkin karena banjir. Aku melihat beberapa batang pohon mengapung diatas sungai, ada yang ditunggangi oleh anak-anak Baduy. Didepan sana ada jeram, meskipun tidak terlalu besar, tetap saja membuat aku khawatir. Anak-anak ini luar biasa, mereka bisa melewati jeram dengan mulus, sayang sekali tidak sempat mengabadikannya.

Jembatan Akar

Kami biarkan Puji dan Aan berlama-lama menikmati jembatan akar ini, bagi mereka ini mungkin fenomenal, sama seperti perasaanku ketika pertama kali melihat jembatan ini. Jalinan akar-akar pohon yang masih hidup dirangkai dengan akar-akar pohon yang berada diseberang sungai. Hingga saling mengait dan menyatu, menjadi sebuah jembatan yang menghubungkan ke dua sisi sungai. Aku bertanya kepada Naldi, kapan jembatan ini dibuat ?. Naldi menjawab “saya juga pernah bertanya kepada kakek saya, dia juga gak tahu”. Berarti jembatan ini dibuat mungkin sudah lama sekali.

Kesaksian Naldi membuktikan betapa panjang sejarah Baduy dengan kehidupannya yang bersahaja, mengelola alam yang murni, asli, tanpa polusi. Kami melanjutkan perjalanan menuju dusun Gerendeng, untuk selanjutnya meninggalkan kawasan Baduy menuju Jakarta. Tempat kami tinggal dan mencari nafkah, tempat keriuhan segala macam jenis manusia dengan segala kepentingannya, dari yang jujur sampai yang serakah, miskin dan kaya. Tempat segala macam limbah dan polusi berada, segala macam produk buatan manusia yang berakhir di tempat sampah. Tempat mengalirnya sungai-sungai yang hitam dan bau, tak seperti sungai Baduy yang murni. Sekali lagi aku berjanji akan mengunjungi Baduy lagi, untuk belajar lagi….

Lanjut ke Wonderful Baduy (Part 4)
Cerita ini juga dimuat di http://www.khatulistiwa.info/2013/09/kembali-ke-baduy.html

Wonderful Baduy (Part 3)


Memenuhi Janji, Kembali ke Baduy
September 8, 2013


bagian 1
Sekali lagi aku mengunjungi Baduy Dalam, seperti janjiku dulu ketika pertama kali mengunjunginya. Masih sangat banyak hal yang ingin aku pelajari dari kemurnian alamnya, wisdom masyarakatnya, serta hal hal yang mengitarinya. Mengunjungi Desa Kanekes tempat dimana masyarakat Baduy tinggal adalah hal yang sangat menakjubkan. Semakin lama kita berinteraksi dengan masyarakat Baduy, semakin banyak hal-hal yang ingin aku ketahui. Bagiku ini seperti magnit yang menarik-narik pikiranku untuk terus memikirkannya.

Alam Baduy
Perjalananku kali ini mengambil rute yang sama persis ketika aku mengunjunginya dulu. Turun dari kereta di stasiun Rangkas, langsung dilanjut dengan menggunakan angkutan umum menuju Ciboleger. Dan disana teman Baduy ku “Herman” sudah menunggu untuk menemani kami menelusuri perkampungan Baduy dan hutan-hutannya hingga sampai di Cibeo. Tempat dimana Herman dan seluruh anggota masyarakat Baduy Dalam tinggal. Kami hanya berempat, bersama Puji, April dan Aan. Kami menyempatkan makan siang dulu dan sholat di Ciboleger.
Papan larangan yg harus ditaati, di gerbang Baduy Luar

Sebelum memasuki kawasan hutan Baduy, kami menyempatkan membaca papan pengumuman atau peringatan tentang ketentuan adat yang berisi larangan bagi siapapun yang memasuki kawasan ini. Yang menarik adalah yang terpampang itu hanyalah sebagian kecil dari begitu banyak larangan sebagai bagian dari adat masyarakat Baduy. Aan dan Puji harus membacanya karena mereka baru pertama kali datang kesini. Lalu kami berempat melanjutkan perjalanan, ditemani herman dan anaknya “Asda” yang masih kecil, serta satu teman Baduy lagi yaitu Naldi. Bertujuh kami mulai berjalan kaki memasuki kawasan masyarakat Baduy. Seperti biasa ketiga rekan Baduy ku berjalan dengan pakaian mereka yang khas serta tanpa alas kaki. Itu sudah menjadi bagian dari adat mereka yang teguh dipegang dan dilaksanakan dengan ringan hati.
Suasana jalan, dilingkungan Baduy Luar

Kami memasuki dusun Balimbing dengan nafas sudah mulai memburu dan keringat mengucur. Terus berjalan, dalam diam. Hembusan nafas tersengal dan sepatu beradu dengan tanah, itulah suara yang kami hasilkan. Aan dan Puji bertanya, akan ada berapa dusun lagi kita lewati ?. Kang Herman menjelaskan, masih ada 4 dusun lagi di depan yang terpisah oleh hutan dan kita akan naik turun melewati gunung atau bukit serta ladang atau hutan yang sepi. Kita juga akan menyeberangi beberapa sungai sedang dan kecil. Dusun-dusun yang akan kita lalui yaitu dusun Merengo, Gajeboh, Cicakal, lalu Cipaler. Setelah ini baru akan memasuki dusun Cibeo, tujuan akhir kami. Mereka diam, lalu duduk di teras salah satu rumah Baduy, mengeluarkan botol air minum dan meneguknya. Kami istirahat, dan aku sempatkan memotret fondasi atua tepatnya kaki rumah Baduy. Aku perhatikan bagaimana konstruksinya, bahannya, dan betapa sederhana rumah ini dibuat. Kaki-kaki rumah yang terbuat dari kayu hanya diletakkan begitu saja diatas tanah yang dilandasi oleh batu kali, sekedar agar rata dan membatasinya dengan tanah, agar terhindar dari rayap. Tanpa harus menggali dan tanpa menggunakan semen.

Fondasi rumah panggung, Baduy Luar

Fondasi Lumbung, Baduy Luar

Saluran air dari Bambu, Baduy Luar

Kami melanjutkan perjalanan melewati jalan-jalan didusun, diantara rumah-rumah Baduy. Jalan ini adalah tanah yang diratakan dan dilapisi batu kali dalam ukuran yang cukup dan disusun dengan rapi, sehingga nyaman dilewatinya. Ada hal yang menarik, ada bambu yang sangat panjang melintangi jalan. Aku lihat air mengalir didalamnya, persis yang melintang diatas jalan bambunya masih bulat hanya ada beberapa lubang berbentuk  persegi dibagian atasnya. Sementara yang tidak melintang, bambu itu dibelah jadi dua. Entah dari mana asal air ini, yang jelas dialirkan untuk keperluan penduduk dusun Balimbing.

Selang beberapa lama, kami kaget ketika melihat sungai yang dibendung utk mencegat potongan-potongan kayu dalam ukuran sedang. Spotan teman-teman berkomentar wah ada pembalakan. Herman segera menjelaskan, itu adalah kayu sengon dari ladang-ladang masyarakat Baduy luar, yang dijual oleh pemiliknya untuk keperluan industry pengolahan kayu. Jadi ini bukan pembalakan, akupun percaya, karena pasti penebangan pohon ini melewati perijinan yang tidak gampang, apalagi jika dikaitkan dengan ketentuan adat yang ketat. Jika hal ini tidak memenuhi ketentuan adat, tentu tidak akan terjadi pertunjukan terbuka ini. Pohon-pohon sengon ini mungkin sudah waktunya dipanen, untuk diganti dengan bibit-bibit yang baru, untuk dipanen beberapa tahun ke depan, begitu seterusnya. Barangkali ini memang mata pencaharian masyarakat Baduy luar. Kayu sengon ini ditebang dari ladang-ladang yang posisinya di hulu sungai, lalu di gelindingkan ke sungai dan dibiarkan terbawa arus hingga tiba disini.
Panen kayu sengon, dialirkan lewat sungai

Hasil panen kayu sengon, Baduy Luar

Panen kayu sengon, Baduy Luar
Perjalanan berlanjut, kami terhantar tiba di jembatan bambu pertama, nanti ada jembatan bambu lagi setelah dusun Cipaler. Bambu adalah komponen penting bagi masyarakat Baduy. Sebagian besar keperluan rumah dan perabotan terbuat dari bambu. Lantai rumah, dinding rumah, alat untuk mengambil air, gelas, dll. semua terbuat dari bambu.
Jembatan Bambu, Gazebo

Bambu Petung, Baduy Luar

Aku tersenyum melihat Puji berjalan bergandengan akrab dengan si kecil, Asda. Seperti kakak adik, entah mereka bicara apa, sebab yang aku tahu Asda hanya bisa bicara bahasa Sunda. Kami terus melangkah menikmati indahnya alam Baduy. Menyebrangi sungai, melintasi jalan setapak diantara semak dan pohon-pohon, menanjak, lalu turun, dijalanan tanah maupun batu, keluar masuk perkampungan Baduy. menyenangkan dan menyehatkan

Puji dan anak Baduy Dalam

Alam Baduy

Disatu kesempatan, aku menemukan dua buah lumbung dengan design yang berbeda. Satu lumbung dengan design khas Baduy luar, yaitu sebuah bangunan yang terbuat dari kayu dan berdinding anyaman bambu. Berbentuk persegi panjang, luasan dasar dan atapnya sama. Dasar lumbungberjarak antara 20 – 50 cm dari tanah. Sementara lumbung disebelahnya jauh lebih tinggi dari permukaan tanah, dan terdapat piringan yg terbuat dari kayu persis dibawah dasar lumbung. Fungsi piringan itu konon mencegah tikus naik keatas. Bagian atas lumbung Baduy Dalam lebih besar dari bagian bawahnya, seperti nampak pada foto berikut ini. Beruntung sekali aku menemukan 2 lumbung ini berdampingan. Karena di Baduy dalam kita dilarang memotret, jadi selama ini aku hanya bisa mendiskripsikan tanpa bisa menunjukkan fotonya. Barangkali ini satu-satunya prototype lumbung Baduy Dalam yang terdapat diluar kawasan Baduy Dalam.
 
Design Lumbung Baduy Luar dan Baduy Dalam

Lanjut ke Wonderful Baduy (Part 4)
Cerita ini juga dimuat di http://www.khatulistiwa.info/2013/09/kembali-ke-baduy.html