Sunday, August 21, 2016

Jogja - Kota Candi

Candi Ijo



Lebih dari 100 candi tercatat ditemukan di daerah jogja dan sekitarnya termasuk  Sleman, Prambanan, klaten, bahkan sampe Magelang. Begitulah catatan dalam buku berjudul : Candi, Space and Lanscape. A study on the distribution, orientation and spatial organisation of central javanese temple remains. By : Veronique Degroot. Mededelingen Van Het Rijksmuseum voor Volkenkunde – Leiden 2009 Leiden University.

Sayangnya, candi candi yang pernah diteliti dan di data di abad 19 tersebut sebagian besar sudah tak ada lagi bekasnya, seperti Candi Krapyak, Candi Polangan, Candi Grogol, Candi Planggak, Candi Malang,  Susukan, Klaci, dll. Atau tinggal serakan batu, seperti Candi Sawo,  Sumur Bandung dekat Candi Ijo, dll.

Nah, kali ini aku berkesempatan mengunjungi Candi Ijo, yang terletak di desa Sambirejo, Prambanan, Sleman. Posisi tepatnya ada pada  S7°47’2.2″  E110°30’44.2″ , cek di google map utk mendapatkan posisi tepatnya. Candi bercorak Hindu ini berdiri diatas lahan yang konon terdiri dari 11 teras, dan Candi Ijo sendiri yang dikawal 3 candi perwara dengan ukuran yang lebih kecil disebelah baratnya terletak pada teras teratas.

Candi Ijo
Hampir semua candi candi yang ada dikomplek Candi Ijo ini berbentuk persegi empat, mirip dengan candi-candi yang ada di dataran tinggi Dieng. Baik yang masih utuh, mapun yang tinggal fondasi saja, atau yang masih berupa reruntuhan dan belum dipugar.

Ketika saya mengunjungi Candi Ijo, 13 Agustus 2016 yang lalu, ekskavasi masih berlangsung di teras 2, saya melihat beberapa pekerja sibuk menggali tanah dan membersihkan batu-batu yang terbungkus tanah merah, sepertinya batu berukir tersebut adalah fondasi atau pagar yang mengelilingi candi.

Proses ekskavasi
Komplek Candi Ijo di teras 11 sendiri, juga dikelilingi oleh pagar dari batu, setinggi hanya bebera centi dari permukaan tanah, selebar kurang lebih satu meter. Saya teringat Angkor Wat di Cambodia yang juga pernah saya kunjungi, semua candi disana juga dibatasi pagar batu yang mengelilingi candi. Sama halnya dengan Candi Muaro Jambi di Suamtera yang bercorak Budha, juga dikelilingi pagar batu disisi luarnya, hanya bedanya, Candi Muaro Jambi terbuat dari bata merah.
Candi Ijo, candi perwara, dan batu pagar sisi luar

Dianamakan Candi Ijo, karena dia terletak di daerah yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai Gumuk ijo (bukit hijau), maka Candi ini dinamakan sesuai tempat dimana dia berada. Sebagaimana halnya Candi Borobudur di bukit Borobudur, Candi Prambanan di daerah Prambanan, dst. Penamaan Candi Ijo ini sesuai dengan Inscription (Prasasti) yang ditemukan, yaitu prasasti Poh berangka tahun 906 Masehi (abad ke 10). Candi Ijo berada pada ketinggian rata rata 425 dpl. Tetapi disebut 380 dpl (untuk main temple) yaitu teras 11, sebagaimana tercatat pada buku diatas. Sementara Gumuk Ijo sendiri ketinggiannya 427 mdpl, dan merupakan bagian dari Gunung Kidul.

Patung Nandi (sapi) di candi perwara tengah

Yoni, didalam candi utama

salah satu ukiran di dinding dalam candi utama
Candi Ijo (candi utama) ketika diekskavasi pada abad 19, ditemukan berbagai artefak, termasuk koin emas dan batu ruby, metal ring, bahkan lempengan emas. Entah dimana barang barang itu sekarang berada, dan apa isi tulisan pada lempengan emas itu.
 Baiklah, kita tidak membahas sisi ilmiahnya, mari melihat yang unik dan indah dari komplek Candi Ijo ini. Diteras 10, yang sebagian wilayahnya masih di ekskavasi, saya menemukan dinding pagarnya bukanlah tumpukan batu yang sengaja disusun rapi dan diukir, tetapi ternyata adalah batu besar yang memang ada disitu, dan dibentuk menjadi pagar sekaligus drainase. Aku juga melihat batu yang bentuknya seperti aliran lahar panas yang mengering dan membeku menjadi batu. Mungkin benar kata sebagian masyarakat sini, bahwa kawasan ini adalah gunung purba. Terbukti dari bentukan batu yang seperti aliran lahar, dan banyak ditemukan disekitar sini.

teras bawah, dalam proses renovasi
Sementara di beberapa teras dibawahnya, telihat beberapa bangunan Candi yang masih dalam proses renovasi, mungkin ada usaha untuk mengembalikannya seperti bentuk semula. Oh iya, aku juga menemukan beberapa batu umpak (fondasi untuk tiang) yang berada disisi luar candi, deket dengan pagar luar. Mungkin dulu candi ini dipayungi oleh atap yang tiang tiangnya berada disekeliling candi, dan berdiri diatas umpak batu tersebut.

batu umpak
Dibatas sebelah barat dari teras 11, didepan 3 buah candi perwara menghadap ke arah barat, adalah pemandangan lanscape kota joga jauh dibawah sana, Bandara Adi Sucipto terlihat jelas dari sini, bahkan pesawat landing dan take off bisa diikuti dengan jelas dari sini. Pemandangan yang indah.

Lanscape of Joga, view from Candi Ijo

Candi perwara tengah, dilihat dari dalam candi utama

Makara, pada tangga masuk candi utama
Dinding pagar teras 11, kombinasi batu asli dan batu tambahan

Dinding candi teras bawah, tebing batu yg dipotong

drainase kuno, masih tampak rapi dan halus

Sebenarnya, waktu terbaik untuk mengunjungi candi ini   adalah saat menjelang matahari terbenam, sinar matahari sore, dan sunsetnya pastinya adalah pemandangan yangsensasional, sayang sekali saya datang kita di siang bolong.

susunan teras pada komplek Candi Ijo, sumber : buku candi, space amd landscape

see you next time Candi IJo...


Tuesday, August 16, 2016

Dream To Green Canyon (part 1)



16 jam lebih duduk dibelakang setir, nonstop, hanya sekali berhenti di POM bensin di daerah Ciamis untuk isi BBM dan urusan toilet. Adalah pengalaman luar biasa yang tak akan terlupakan. Begitulah keadaan jalanan sepanjang jalur nagrek menuju Ciamis, Kamis, 7 July 2016, Hari ke dua lebaran tahun ini.

Anak-anak sampai bingung sendiri, tidur, bangun, tidur lagi, bangun lagi, masih di jalan, untungnya mereka sudah siap mental menghadapi kemacetan ini. Pemberitaan di TV tentang kemacaten parah di Brexit membuat mereka menyiapkan diri untuk situasi ini, suasana di dalam mobil kami kadang senyap karena 4 orang wanita (istri dan anak anak pada tidur) lalu riuh dengan canda tawa dan cerita, senyap lagi, riuh lagi, begitulah perjalanan kami.

Semua demi cita-cita lama yang sebentar lagi jadi kenyataan, body rafting di Green Canyon, Pangandaran.

Kami tiba di Pangandaran pas waktu Isya. Rumah makan adalah tempat pertama yang kami cari, lalu menuju hotel yang sudah kami pesan secara online. Malam ini acaranya hanya satu, istirahat, menyiapkan fisik buat besok subuh, menikmati sunrise di pantai timur pangandaran. Sayangnya, pagi itu kami kurang beruntung, mendung menghalangi mentari pagi yang gagal nongol di cakrawala timur.

Sunrise, Pantai Timur Pangandaran
 Matahari baru menyapa kami dari balik awan, beberapa saat kemudian. Indah... tetap indah dan syahdu. Sumburat sinar kemerahan dan bulatan matahari itu seolah mengucapkan selamat pagi, sinarnya yang lembut cukup memberi kehangatan, mie rebus dan secangkir kopi menambah segarnya suasana pagi di Pangandaran. Perlahan pemandangan sekitar pantai mulai jelas, deretan warung, perahu-parahu yang di parkir di lepas pantai, juga bibir pantai yang kotor oleh tumpukan sampah. Orang orang mulai rame berlalu lalang berjalan di sisi deretan warung warung, entah apa yang mereka cari, kami lebih memilih duduk bercengkerama di warung menikmati suasana pagi yang indah ini.

Selamat pagi Pangandaran
Sampah
 Kami tinggalkan pantai meskipun sebenarnya masih ingin berlama lama menikmati pagi di pantai timur Pangandaran, kami harus membagi waktu, Jum’at hari pendek, sore harus sudah tiba di Batu Karas untuk body rafting di Green Canyon.

Pantai barat Pangandaran, kami tiba disana mengendarai mobil, sungguh keputusan yang salah, seharusnya kami jalan kaki, crowded sekali, mobil nyaris stuck, tidak bergerak, butuh waktu 20 menit lebih untuk bisa dapat tempat parkir. Jalan yang sempit serta terbatasnya lahan parkir menjadi penyebab kemacetan, terlalu banyak motor dan manusia berlalu lalang disini, maklum masa liburan lebaran. Di pantai, sama saja, penuh sesak manusia. Kami memutuskan menyewa perahu untuk berlayar mengelilingi cagar alam Pangandaran, menuju Air Terjun yang langsung jatuh ke laut.

Pemilik perahu merayu kami untuk berkeliling memutari tanjung cagar alam Pangandaran dengan sedikit tambahan biaya, saya setuju. Lalu kami mulai bergerak meninggalkan pantai Pangandaran, perahu bercadik ini sesungguhnya cukup sempit, sehingga kami harus duduk satu satu, semua menghadap kedepan, kecuali saya duduk paling ujung dan menghadap kebelakang. Kami mulai jauh meninggalkan pantai dan perahu-perahu lain yang hanya berputar-putar di teluk pantai barat Pangandaran. Lalu sang pengemudi memberikan pelampung kepada semua penumpang kecuali saya, mereka semua pakai pelampung, kecuali pengemudi dan saya. Perahu mulai berguncang guncang hebat, sehingga saya harus memegangi ujung dinding kiri kanan perahu agar tidak terpental. Anak anak mulai berteriak teriak riang setiap perahu terpental menyambut ombak yangmenghantam perahu. Saya menengok ke belakang, wow, ombak sekitar 2 meteran menuju perahu kami, saya semakin fokus memegangi perahu dengan sekuat mungkin agar tidak terpental. Karena posisi duduk saya diujung perahu, maka hempasannya sangat terasa, sampai perut saya terasa sakit. Anak anak meneriaki saya, Pa.... teriaaak. Mungkin biar gak tegang. Saya heran, tidak adah ekspresi ketakutan di wajah mereka, sementara saya begitu khawatir, kami satu satunya perahu yang keluar ke laut lepas, inilah ombak laut selatan yang sesungguhnya.

Perahu terus bergerak, lalu agak pelan dan bergerak kekiri mendekati pantai. Kami lihat dari kejauhan Air Terjun dg debit air yang cukup besar menyembur dari dinding tebing dan langsung jatuh ke laut. Saya lihat ombak besar langsung menghantam ke batu karang dibawah air terjun itu, dan airnya berbaur menyatu disana, saya pikir tidak mungkin kita mendekat karena ombaknya yang besar, perahu kami terombang ambing, tidak ada kesempatan mengambil foto, meskipun dengan HP, tangan saya tidak pernah lepas dari pegangan. Saya minta pengemudi mengarahkan perahu kembali ke Pantai Putih, ke Cagar Alam Pangandaran.

Pantai barat, Pangandaran
 Kami turun ke Pantai Pasir Putih, sama, crowded, penuh sesak dengan manusia, tidak ada pedagang disini, dilarang, karena ini cagar alam. Namun ada penyewaan alat snorkling, tapi kurang tertarik untuk snorkling disini. Kami sebentar saja disini, langsung balik ke Pantai barat lagi, maklum jumat, waktu terbatas.


Selepas jumatan dan makan siang, kami langsung check out, meninggalkan hotel menuju Green Canyon, destinasi yang sudah lama kami incar. Setengah jam lebih perjalanan menuju ke Batu Karas, Green Canyon, jalanan cukup sempit, namun kondisi jalan relative baik, sepertinya baru di aspal.

Setiba di Batu Karas, persis ditikungan yang ada jembatan, jalanan macet total, mobil parkir terdapat hampir diseluruh pinggir jalan dan halaman halaman rumah warga, serta guest house yang ada disana, kami melihat banyak papan petunjuk jalur evakuasi, saya sempet bertanya pada warga setempat, evakuasi apa ?, rupanya ketika terjadi sunami beberapa waktu yang lalu, kepanikan melanda warga disini.

Bermunculannya guest house dan operator body rafting adalah pertanda geliat pariwisata disini mulai tumbuh memberi penghidupan baru pada warga setempat, berkah Green Canyon. Juga turut mempromosikan Wonderful Indonesia, semoga negara dapat membantu semaksimal mungkin untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada para tourist lokal maupun internasional.

Kami menuju salah satu operator, tapi rupanya hari ini, Jumat, tidak ada body rafting, karena waktunya pendek, terpotong sholat jumat, sementara waktu yang dibutuhkan untuk body rafting bisa 5 jam atau lebih, wow.... Hari jumat hanya ada penawaran menaiki perahu menyusuri sungai Green Canyon menuju hulu, hingga berakhir di jeran terakhir. Tidak, kami sudah bertekad untuk body rafting, jadi kami putuskan menginap disini, untuk esok harinya ber body rafting ria... Kami memutuskan menginap di salah satu guest house yang sederhana, tapi harga bak hotel bintang, maklum, musim liburan lebaran.

Pantai Batu Hiu
Sore ini, kami manfaatkan waktu untuk mengunjungi Pantai Batu Hiu, tidak jauh dari Batu Karas, ombak besar datang silih berganti seakan akan berebut mencakar pantai yang berpasir hitam. kami mendekat pantai, dan langsung di ingatkan lewat pengeras suara agar menjauh. Wow, rupanya ombak disini kurang bersahabat.
Pantai Batu Hiu
Pantai Batu Hiu
Sedianya, kami ingin stay disini mengabadikan sunset, tapi ternyata matahari tenggelam di balik gunung, bukan di cakrawala laut. 

Pantai Batu Hiu, view dari atas tebing
Lanjut ke Dream To Green Canyon (part 2)







Dream To Green Canyon (Part 2)



Body Rafting

Body Rafting, Green Canyon
Sabtu, 9 July 2016. Kami dijemput mobil pick up tepat pukul 7 pagi, persis seperti janji operator sore kemarin. berlima kami menaiki bak mobil, diantar menuju ke base camp operator body rafting, diperkenalkan dengan guide, diberikan seperangkat alat antara lain sepatu khusus, pelampung, dan helmet. Lalu diberikan pengarahan sebentar dan langsung menuju bak mobil lagi, bersama rombongan keluarga lain, ber 10 kami dibawa menuju starting point. Setengah jam lebih perjalanan menuju arah hulu sungai Green Canyon, menyusuri jalan aspal, lalu berbelok ke kanan menanjak, melewati jalan tanah menembus perkampungan, kebun dan hutan. Cukup mengerikan bagi kami, mengingat jalannya yang sempit, hanya cukup untuk satu mobil saja, serta konturnya yang naik turun. Perjalanan ini saja, sudah menjadi petualangan tersendiri bagi kami, tapi, seyogyanya pemerintah memperhatikan infrastruktur disini.

di basecamp
Menuju starting point
Dari dropping point, kami menuruni jalan setapak yang lumayan curam sampai akhirnya kami berada dibibir sungai, sedikit breafing dari pemandu, savety body rafting disampaikan dengan singkat tapi jelas, dan kami harus mengikuti petunjuk dari pemandu agar perjalanan berlangsung aman dan nyaman. Kami juga diminta untuk tidak bercanda dengan mengeluarkan kata kata yang tidak pantas, keren, ini cara bijak menghormati alam.

di dropping point
down to the river
Pelan pelan, satu persatu kami masuk ke sungai dan membiarkan diri dibawa arus yang tenang dan dingin.  Cadas di kiri kanan sungai mulai menyapa kami, dinding batu yang tinggi, dengan ornamen alami, dipayungi pohon di atasnya. Keadaan mulai gelap, sensasional.  Ada sedikit rasa gamang, tapi kami yakin ini safe, toh sudah ada ribuan orang sebelumnya yang rafting disini. Dan Guide yang tenang membuat kami merasa tenang pula.
Starting point
Enjoy Body Rafting
Kami memanggil guide kami dengan nama Bule, karena rambutnya yang dicat pirang. Bule mengarahkan kami untuk menepi dan melanjutkan perjalanan melalui batu batu cadas, karena didepan ada jeram yang cukup berbahaya, dinding dinding batu itu membentuk dirinya seperti stalagmit di dalam gua, ia terbentuk oleh tetesan air diatasnya,  yang mungkin terjadi selama ribuan tahun. Bisa dibayangkan alam yang perawan ini sejak penciptaannya, tak pernah dilewati manusia, sampai seorang turis Prancis menemukannya sebagai sorga yang indah untuk dinikmati, jadilah Green Canyon, wisata body rafting yang keindahannya kini bisa kita nikmati.

menghindari jeram

Enjoy Body Rafting

Enjoy Body Rafting, diguyur air dibawah tebing overhang

Pada beberapa spot kita seolah berada pada alam Jurassic Park, batu besar ditengah sungai, stalagmit, stalagtit, tebing over hang diatas sungai, akar akar pohon yang menjulur sampai ke permukaan sungai, serta air deras yang meluncur dari atas seperti hujan, sangat sempurna...  

Serasa di Jurrasic Park

Serasa di Jurrasic Park

Serasa di Jurrasic Park
Pada satu spot, sekali lagi kami harus menghindari jeram yang berbahaya, menepi, dan memanjat batu batu besar, berjalan diatasnya, aliran sungai yang deras antara 4 – 5 meter  dibawah kami, lalu pada ujungnya kami harus melompat ke bawah, menyebur ke air yang berarus deras dan harus langsung berenang dengan kuat ke arah kiri agar tidak terbawa arus dan masuk ke jeram yg dalam. Bule memberi arahan dengan tegas, lalu dia yang melompat duluan, sambil memberi contoh, langsung berenang kearah kiri, meraih batu untuk menahan agar tubuhnya tidak terseret arus, lalu memberi aba aba kepada kami untuk mulai melompat, Bule mencegat diujung sana dengan membawa tali atau sling untuk dilempar kepada kami jika gagal merapat ke sisi kiri.

Rupanya si bungsu ragu untuk melompat dari batu yang tingginya sekitar 2 meter diatas arus sungai, sejujurnya ketika saya melihat kebawah, ada juga rasa ngeri, karena gak ada jalan lain ya akhirnya melompat juga, dan byur... sejenak ada rasa kaget ketika berada di dalam air terbawa arus lalu muncul ke permukaan dan berenang sekuat tenaga ke arah kiri, Si bule berteriak teriak memberi semangat “kiri... kiri...”. Lumayan, sempet menelan air sungai ketika nyebur tadi. Bule meraih tangan saya dan menariknya ke batu, saya ikut memberi aba-aba ke anak anak untuk mulai terjun, satu persatu mereka terjun, dan ternyata, semua menelan air sungai..he..he..

Sibungsu, tak kunjung lompat, masih ragu-ragu, raut mukanya jelas menunjukkan kengerian, kami semua memberi semangat, ayo cantik, gak apa apa, kamu pasti bisa, saya lihat dia jongkok dan siap melompat, tapi mukanya seperti menangis dan tak kunjung melompat. Bule akhirnya susah payah merambati tebing disisi sungai, dan memanjatnya lalu menghampiri si bungsu dan merayunya, mengajak terjun bareng. Bule menggandeng tangan si bungsu, menghitung sama sama, dihitungan ketiga lompat bareng, dan Byur.... sukses.... kami istirahat sejenak di Batu yang ibarat pulau ditengah sungai ini.

Kami melanjutkan rafting, berselang seling antara melewati arus yang deras dan yang tenang, sehingga kami bisa saling bergandengan dan bercanda, atau diam menikmati indahnya lukisan alam, paduan antara hijaunya pohon pohon yang akarnya menjulur ke bawah, tebing tebing tinggi dengan garis garis sejajar arah arus sungai, atau tebing overhang yang memayungi kami.

Membiarkan tubuh kami telentang diatas sungai, menatap keatas, jauh diatas sana tebing dan pohon pohon itu seolah berjalan meninggalkan kami, padahal kamilah yang bergerak terbawa arus meninggalkan indahnya pemandangan itu.



Beberapa kali kami harus menghindari jeram dan merayapi batu batu besar yang indah, dihujani air dari atas entah dari mana asalnya, karena sedang tidak hujan. Kombinasi antara batu, tebing, sulur akar pohon, semburat air dari atas, serta suara derasnya arus dan gelapnya suasana pada beberapa spot, sungguh luar biasa, Indonesia memang indah... ini adalah petualangan yang tak terlupakan, seandainya ada kesempatan, pasti kami akan kembali lagi.

Sambil rafting, terkadang kami harus merayapi tebing agar tidak terseret arus dan terbawa ke jeram yang berbahaya, sampai ahirnya perjalanan body rafting kami berakhir di jeram setan, jeram terakhir, entah kenapa diberi nama jeram setan. Kami istirahat diatas batu besar, dipayungi tebing yang overhang dan menyatu  dari kedua sisi sungai sehingga membentuk gua, serta dihujani air dari atas. Tak terasa, 3 jam lamanya perjalanan body rafting ini.

Di titik ini kami dijemput perahu bercadik, bersama rombongan lain kami diantar ke tempat peristirahatan, menyusuri sungai yang cukup lebar, batas kiri kanan sungai adalah pepohonan yang padat, serasa di amazon. Tiba di dermaga perahu disisi kiri sungai, dermaga ini sengaja dibuat dengan konstruksi beton untuk kepentingan wisata, beberapa warung sederhana terdapat diatasnya, pedagangnya harus berjalan kaki menembus hutan untuk mencapai tempat ini.

Pisang goreng dan kopi panas, nikmat apa lagi yang dapat kita ingkari ?... 
Tuhan begitu baik pada Indonesia, semoga kita pandai bersyukur dan  bisa menjaganya

Sekali lagi kami dijemput perahu bercadik, menuju basecamp. Cuma kali ini hanya rombongan kami, satu keluarga saja, yang menaiki perahu, menyuri sungai green canyon yang seperti amazon, mengikuti arus menuju ke hilir, kurang lebih 15 menit perjalanan menaiki perahu, beberapa kali kami berpapasan dengan perahu yang berisi rombongan wisatawan, dengan camera ditangan, kasihan, mereka tidak tahu ada secuil sorga disini, yang hanya bisa dinikmati dengan body rafting.