Pekalongan
Kota dipesisir utara ini tak banyak disebut di sejarah Nusantara. Baik dimasa
Mojopahit, atau Mataram. Tak ada juga cerita Cheng Ho berlabuh disini. Dimasa
lalu, Pekalongan tak setenar kota-kota lain disisi pantura seperti Cirebon,
Semarang, Jepara, Tuban, Gresik. Tapi kota ini sesungguhnya menyimpan misteri
yang menarik.
Masjid Agung Pekalongan |
Disebuah buku yang aku pernah
baca beberapa tahun lalu, disebutkan bahwa dikota inilah Loji pertama dibangun
di Indonesia. Loji, adalah sebuatan lain untuk Sinagog, tempat ibadah
orang-orang Yahudi. Sementara sumber lain mengatakan Loji pertama dibangun di
Batavia (Jakarta). Yang menarik adalah
latar belakang dibangunnya Loji di Pekalongan, konon pembangunan Loji terkait
dengan strategy VOC / Belanda dalam
usaha menguasai Nusantara. Teorinya sederhana, jika VOC berhasil menguasai /
mengambil hati masyarakat Pekalongan maka kota-kota lain dan Nusantara akan
dengan mudah bisa dikuasai. Pertanyaannya kenapa Pekalongan yang dijadikan
barometer ?
Penamaan Loji juga menjadi
sebuah pertanyaan sendiri, Loji dipilih menggantikan Sinagog sebagai nama asli
tempat ibadah orang-orang Yahudi. Loji lebih terkait dengan kegiatan freemasonry,
Loji pada ahirnya juga menjadi tempat berkumpul tokoh-tokoh lintas agama dan
melakukan kegiatan yang berbau mistis, sehingga sebagian masyarakat menyebut
Loji sebagai gedung setan, karena dikira kegiatan mereka dalam rangka memanggil
roh halus atau setan. Jadi, jika menggunakan nama Sinagog, mungkin akan
mendapat resistensi yang luas dari masyarakat Pekalongan yang agamis dan
islami. Dengan Loji dan freemason-nya, belanda berhasil merangkul tokoh-tokoh
local khususnya dari kalangan Islam.
Kembali ke pertanyaan awal,
kenapa Pekalongan ?. Di kota batik ini masyarakatnya dikenal religious, santun,
tatakramanya apik, lebih mirip masyarakat Jawa pedalaman ketimbang pesisir yang
lebih bebas dan terbuka. Bertahannya industry batik masyarakat di kota ini
adalah contoh dan bukti bahwa masyarakat Pekalongan yang mayoritas Muslim ketika
itu kreatif, produktif dan berjiwa dagang. Kombinasi antara religious dan
kreatif produktif, serta santri ini mungkin membentuk karakter dan system
social budaya tersendiri, dan resistance terhadap culture eropa/ belanda. Maka
itu Belanda merasa perlu memprioritaskan merangkul masyarakat Pekalongan
sebagai strategy penaklukan non militer, jika berhasil maka masyarakat kota
lain akan lebih mudah dirangkul (baca : ditaklukkan secara social budaya).
Begitulah kira-kira latar
belakang kenapa Pekalongan menjadi kota yang penting bagi Belanda. Dan aku,
sudah lama berkeinginan meng eksplore Pekalongan, sampai kesempatan itu
akhirnya tiba.
Jembatan Loji dengan latar belakang Masjid Al-Ikhlas |
Jembatan Loji dengan latar belakang Gereja |
Loji adalah obyek pertama yang
aku cari. Pak Zainal Abidin, teman baruku, asli pekalongan, membantuku
menjelajahi Pekalongan, kami menuju sebuah jembatan yang bernama jembatan Loji,
orang-orang disekitar situ menyebut sungainya adalah sungai Loji, padahal nama
sungai yang sebenarnya adalah sungai Kupang. Nama Loji ini pasti terkait dengan
gedung Loji, tetapi gedung itu sudah tidak ada, warga setempat memberitahuku
bahwa dulu memang ada bangunan yang disebut
gedung Loji, tapi sudah lama dibongkar dan berubah menjadi sebuah rumah
biasa yang cukup mewah, terletak disebelah barat jembatan, diseberang Masjid
Al-Ikhlas.
Klenteng Po An Thian |
Disekitar jembatan Loji ini
ada pula gereja dan klenteng, juga bangunan tua bekas kantor residence di Jaman
Belanda.
Tidak banyak informasi yang
aku dapat mengenai aktifitas Loji dimasa lalu serta pengaruhnya terhadap
kehidupan masyarakat local.
Warung Nasi Uwet Pak Zarkasih, dengan menu khas Pekalongan Nasi Begono |
Aku sempatkan mampir dulu ke
sebuah warung makan, namanya warung Nasi Uwet Haji Zarkasih, dengan menu khas
Pekalongan, Nasi Begono. Sayur yang terbuat dari tewel atau nangka muda yang
diiris kecil kecil, seperti gudeg Jogja, tetapi teksturnya lebih nampak, tidak
lembut atau cenderung hancur seperti gudeg, dan berkuah. Ditambah potongan
daging yang juga direbus bareng sayurnya dan dituangkan ke sepiring nasi.
Rasanya, mantab, nikmat, dagingnya juga empuk.
Makam Habib Ahmad Bin Abdullah Bin Tholib Al-Atos |
Makam Mbah Fakih |
Selepas sarapan nasi begono, aku
melanjutkan bersilaturrahim ke Makam Habib Ahmad bin Abdullah Bin Tholib
al-Atos. Wafat th 1927, tokoh yang disebut wali ini, semasa hidupnya sangat dihormati dan disegani, baik oleh
kalangan umat muslim sendiri maupun umat lain. Konon kisahnya dulu para
perempuan tidak berani melewati rumahnya tanpa berkerudung, termasuk wanita
cina dan belanda. Barangkali ini menunjukkan betapa islaminya kota ini dulu. Kini makam Habib banyak dikunjungi jamaah
dalam rangka silaturrahim atau ziarah, termasuk ketika aku tiba disini,
beberapa bus besar parkir membawa rombongan peziarah dari berbagai kota.
Didekat makam Habib Ahmad, masih didalam satu komplek pekuburan, terdapat pula
makam Kyai Fakih, yang juga banyak diziarahi, beliau dikenang sebagai ahli
fikih dijamannya. Disini juga terdapat
makam leluhur Habib Luthfi, Habib Luthfi sendiri hingga kini masih terus
berdakwah, beliau salah satu Habib yang mashur ditanah jawa.
Masjid Raudhah |
Aku juga mengunjungi Masjid
Raudhah, Masjid yang selalu ramai pada saat haul Habib Ahmad, Masjid tempat
dulu Habib Ahmad berdakwah, menebarkan ahlak yang baik, dan menjalankan amar
makruf nahi munkar.
Masjid Sapuro |
Bedug Masjid Sapuro |
Selanjutnya aku mengunjungi
Masjid Sapuro, konon inilah Masjid tertua di Pekalongan, aku menyempatkan
sholat dhuhur disini. Masjid yang terletak di desa Sapuro ini masih terawat
baik, sayang tempatnya yang persis ditengah-tengah perkampungan dan berimpitan
dengan rumah penduduk, menyebabkan agak sulit mengambil foto.
Kemudian aku berkeliling kota
untuk melihat Masjid Agung Pekalongan, dan beberapa bangunan tua peninggalan
belanda, antara lain bekas gedung residence belanda, rumah residence, serta
stasiun Pekalongan yang bentuknya belum banyak berubah. Ada juga penjara jaman
belanda, yang dibangun tahun 1913, hingga kini masih berfungsi sebagai Lapas.
Stasiun Pekalongan |
Stasiun Pekalongan |
Lapas Klas 2A, Pekalongan bekas penjara jaman belanda |
Dari perjalanan yang singkat
itu, dapatlah kiranya disimpulkan bahwa strategy Belanda berhasil, dan nuansa
islaminya masyarakat pekalongan masih dapat aku rasakan ketika berinteraksi
dengan mereka.
Lanjut ke : Pekalongan, Loji, dan Nelayan (Part 2)
No comments:
Post a Comment