Cheng Ho atau Zheng He atau
Sam Poo Kong, nama ini telah dikenal luas di Nusantara khususnya di tanah Jawa,
Ia terhubung dengan sejarah Mojopahit. Catatan expedisinya menunjukkan bahwa
mereka 6 kali berlabuh di Jawa, pada rentang waktu 1405 sampai 1433. Banyak
dikabarkan tentang keadaan Mojopahit ketika itu.
Patung Cheng Ho, klenteng Sam Poo Kong. Semarang |
Adalah Almarhum Prof. Hembing,
yang banyak berjasa mencari tahu siapa itu Cheng Ho. Mungkin karena beliau
adalah Chinese dan Muslim, sehingga muncul romantisme karena kesamaan latar
belakang dengan Cheng Ho yang adalah Chinese dan Muslim pula. Prof. Hembing
sampai harus datang ke Negri Cina untuk menelusuri dan mendapatkan informasi
Cheng Ho dari sumber aslinya, sampai beliau bertemu Prof. Yuanzhi dan disodori naskah-naskah kuno perihal Cheng
Ho.
Diorama Cheng Ho, di Masjid Muhammad Cheng Ho. Surabaya |
Dari Cheng Ho lah kita tahu
bagaimana keadaan masyarakat Mojopahit ketika itu. Bahwa ternyata kendaraan
Raja adalah Gajah. Rakyat mojopahit
berjalan tanpa alas kaki, rumahnya panggung setinggi 3 meter. Tak ada meja
kursi didalamnya, kalau makan beramai ramai duduk dilantai, tak ada sendok
garpu, atau sumpit, tapi menggunakan tangan, mengambil dari tempat yang sama
(seperti kenduri dikampung). Tamu yang
datang tidak disuguhi teh atau minuman lain, tapi sirih. Suatu keadaan yang
sangat bertolak belakang dengan masyarakat Cina ketika itu, sehingga kesan itu
begitu kuat bagi rombongan Cheng Ho.
Laki-laki dan perempuan
bertelanjang dada, rambutnya terurai panjang, tapi yang laki-laki rambutnya
digelung diatas. Setiap laki-laki, tua maupun muda membawa keris dan diselipkan
di depan, bukan dibelakang seperti yang kita lihat sekarang pada acara-acara
pengantin adat Jawa. Keris didepan itu menggambarkan keadaan siap tempur, dan
ternyata begitulah faktanya. Perselisihan antara lelaki yang terjadi di
pasar-pasar diakhiri dengan perkelahian satu-lawan satu dengan menggunakan
kerisnya. Jika lawannya mati, maka yang membunuh akan dihukum bunuh oleh
tentara Mojopahit, kecuali dia melarikan diri kehutan dan tidak tertangkap.
Jika bisa bertahan dihutan dan setelah 3 hari kembali ketempat asalnya, dia
dibebaskan dari hukuman.
Mojopahit digambarkan amat
kaya, istananya luas dan megah, dindingnya berlapis emas, begitu juga dengan
peralatan rumah tangga Raja kebanyakan dibuat dari emas. Pada suatu perayaan hari
besar, Raja suka menyaksikan olah raga yang unik, bagi kita mungkin terkesan
sadis, tapi tidak jika dilihat dari budaya waktu itu. Pertarungan dua keluarga
dengan menggunakan bambu runcing sepanjang 3 meter, para istri dan pembantu
wanitanya membawa bambu runcing sepanjang 1 meter. Kepala keluarga yang kalah
atau mati akan dibakar sesuai adat waktu itu, mayat diletakkan diatas tumpukan
kayu bakar, sang istri yang menyulutkan api, tangisan pecah, lalu para istri
dan pembantu wanitanya menyeburkan diri kedalam kobaran api, sebagai tanda
kesetiaan.
Begitulah keadaan Mojopahit
ketika itu, rakyatnya pemberani dan selalu siap tempur. Maka tidak heran jika
sejarah kerajaan di Jawa penuh dengan intrik dan perebutan kekuasaan,
pembunuhan, dan peperangan. Maka Sang jenius Hayam Wuruk dan Maha Patih
Gajahmada tepat sekali sikap politiknya, membawa rakyat mojopahit yang tak
mengenal takut dan semangat tempurnya tinggi itu, untuk keluar dan bertempur
meluaskan wilayah kerajaan. Jadilah Mojopahit yang kita kenal wilayahnya
meliputi Asia Tenggara bahkan lebih.
Klenteng Sam Poo Kong, Semarang |
Klenteng Sam Poo Kong, Semarang |
Klenteng Sam Poo Kong, Semarang |
Expedisi yang dipimpin Cheng
Ho ini, lebih tepat disebut sebagai perjalanan muhibah mencari sahabat. 300
kapal dengan 30.000 anggota adalah expedisi yang luar biasa. Belum pernah ada sebelumnya,
dan tidak pernah ada lagi setelahnya. Maka tidak heran jika Cheng Ho dikenang
oleh masyarakat yang pernah dikunjunginya termasuk di Jawa. Klenteng Cheng Ho
atau klenteng Sam Poo Kong yang dahulunya adalah Masjid, adalah bukti
penghargaan atas keberadaannya. Juga baru
baru ini dibangun Masjid Muhammad Cheng Ho di Surabaya diinisiasi oleh sekompok
Chinese Muslim, mengikuti pembangunan yang sama, Masjid Muhammad Cheng Ho di
Pandaan.
Ketika itu banyak Masjid yang didirikan
oleh komunitas Muslim Chinese di tanah Jawa antara lain di Bangil, dan Batang
yang sekarang berubah fungsi menjadi Klenteng. Muslim Chinese ketika itu
disebut sebagai Hanafi, atau orang-orang Islam yang bermadzab Hanafi. Mengikuti
madzab yang diikuti oleh orang-orang Islam di Cina daratan, yang sudah ada
sejak beberapa dinasti sebelumnya. Sampai pada ahirnya Islam dilarang di Cina
daratan.
Masjid Muhammad Cheng Ho, Surabaya |
Masjid Muhammad Cheng Ho, Pandaan - Pasuruan |
Ornamen Masjid Muhammad Cheng Ho, Pandaan - Pasuruan |
Kini, tahulah kita dari
sejarah bahwa peranan orang-orang Cina tidak bisa dilepaskan dari sejarah
Nusantara / Indonesia, sampai sekarang.
No comments:
Post a Comment